Saham ‘Ponzi’ GoTo Tidak Layak Masuk Bursa: Wajib Diselidiki

Kalau perusahaan tidak bisa bagikan dividen, dan kenaikan harga saham hampir tidak mungkin terjadi, kenapa GoTo dibolehkan menawarkan sahamnya kepada publik (Go Public)?

Oleh: Anthony BudiawanManaging Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

HARGA saham GoTo masih terus anjlok, menyentuh batas bawah harian, atau auto reject bawah (ARB), kalau tidak salah, delapan kali berturut-turut. Saham GoTo hari ini ditutup menjadi Rp 107 per saham, turun 68,3 persen dari harga perdana sebesar Rp 338 per saham.

Kalau tidak ada auto reject, saham GoTo mungkin sudah lama jadi gocap.

Penurunan drastis harga saham GoTo ini bukan kejutan, tapi sudah dapat diperkirakan sejak awal. Karena kinerja GoTo selama ini, selama perusahaan berdiri, memang sangat buruk, dan sekarang malah semakin memburuk.

Maka itu, GoTo seharusnya tidak layak Go Public, tidak layak menawarkan sahamnya di Bursa.

Alasannya sebagai berikut.

Pertama, aset GoTo terlalu (di)besar(kan). Sebelum Go Public, Gojek akuisisi (atau merger dengan) Tokopedia, untuk menjadi Gojek Tokopedia alias GoTo.

Tokopedia didirikan tahun 2009, dan kinerjanya rugi terus selama berdiri. Rugi Tokopedia tahun 2020, sebelum diakuisisi, mencapai Rp 4,3 triliun, dengan akumulasi rugi per akhir tahun 2020 mencapai Rp 18,3 triliun, dan Kekayaan Bersih hanya Rp 11,8 triliun.

Dengan kondisi kinerja yang buruk seperti ini, nilai akuisisinya yang harus dibayar Gojek kepada Tokopedia lebih dari Rp 100 triliun, dengan goodwill Rp 93,15 triliun.

Tentu saja, nilai akuisisi ini sangat tidak normal, membuat harga saham GoTo pada saat Go Public juga menjadi tidak normal, merugikan investor publik.

Karena akuisisi Tokopedia dibayar dengan saham GoTo, maka jumlah saham beredar GoTo menjadi sangat besar, membuat kapitalisasi pasar GoTo seolah-olah sangat besar, alias menggelembung.