Sejak awal rupiah ‘keok’, Pemerintah selalu menuduh ini akibat adanya perubahan kebijakan ekonomi di Amerika Serikat (AS). Adanya rencana kenaikan Federal Funds Rate (FFR) dan terjadinya perang dagang (trade war) antara AS dengan China. Benarkah pelemahan rupiah ini seluruhnya akibat faktor eksternal? Dan the Fed lah yang menjadi ‘biang kerok’ atas pelemahan rupiah selama ini?
Selain itu, bukankah akibat tingginya impor menyebabkan defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD) di kuartal II 2018 yang diperkirakan mencapai 2,5 persen dari PDB juga mempengaruhi jebloknya nilai tukar rupiah?
Di sisi lain, total utang Indonesia per April 2018 sekitar Rp4.180 triliun juga memperburuk kondisi. Sekitar 61 persen dari utang tersebut terdiri dari utang luar negeri. Pemerintah boleh saja menyebut, secara konsensus, batas utang Indonesia saat ini masih dalam batas aman sekitar 60 persen dari PDB. Namun, bukankah konsensus tersebut untuk kategori negara maju yang mempunyai rasio pendapatan pajak sekitar 30 persen dari PDB? Sementara, rasio pendapatan pajak Indonesia saat ini hanya sekitar 10 persen dari PDB.
Dengan rasio utang mendekati 30 persen terhadap PDB, pakah layak disebut aman?
Memang, pelemahan nilai tukar rupiah di atas Rp 14.000 per dollar AS tidak terjadi kali ini saja. Pada 29 September 2015, rupiah tersungkur hingga Rp 14.728 per dollar AS. Saat itu, para pelaku ekonomi dibayang-bayangi masa-masa krisis 1998. Maklum, nilai tukar rupiah hanya selisih Rp 2.000 dibanding nilai tukar saat krisis 1998. Bagaimana pelemahan rupiah kali ini?
Apakah pelaku pasar melihat kondisi saat ini juga sebagai ‘warning’ akan terjadinya krisis, mengingat hingga bulan Mei 2018, aksi jual (net sell) oleh investor asing sudah mencapai Rp 40,59 triliun, melebihi net sell yang terjadi sepanjang 2017?