Rupiah Anjlok, Dana Asing Kabur, Seberapa Kuat Sistem Moneter Indonesia Melawan ‘Eksport’ Resesi Amerika Kepada Dunia?

 


Oleh : Ahmad Khozinudin*

Sastrawan Politik

Beberapa waktu lalu, Anthony Budiawan mengkritik kebijakan Bank Indonesia (BI) yang terlalu ‘over confident’ menyikapi kenaikan suku bunga The Fed. Hal itu diungkap dalam artikelnya yang berjudul *No Free Rides, No Free Lunch: Kurs Rupiah Anjlok, Dolar Kabur.*

Anthony menyebut, diantara sebab modal asing kabur adalah karena dampak dari inflasi global, dimana Bank Sentral AS, the FED, menaikkan suku bunga acuan hingga 3 persen, sejak Maret hingga September 2022.

*Sedangkan Bank Indonesia hanya menaikkan suku bunga acuan sebesar 0,75 persen saja,* masing-masing 0,25 persen dan 0,5 persen pada Agustus dan September 2022.

Akibatnya, *selisih bunga acuan antara AS dan Indonesia menyempit.* Dari sebelumnya sekitar 3,25 persen menjadi 1,0 persen. *Suku bunga acuan AS saat ini sekitar 3,25%, dan Indonesia 4,25%. Hal ini tentu saja memicu dolar kabur keluar, dan kurs rupiah terpuruk.*

Namun, penulis mengkritik pandangan tersebut. Penulis ajukan pertanyaan, apakah kondisi itu dapat dijadikan acuan simpulan, Bank Indonesia terlalu percaya diri, mengambil kebijakan moneter penuh risiko, dengan membiarkan selisih suku bunga acuan the FED dan BI menipis ?

*Atau, dengan logika lain, andai saja BI ‘memberikan selisih bunga yang menggairahkan’, apakah hal itu akan membuat ‘modal asing betah bertelur di Indonesia?’ atau dengan kata lain, kebijakan selisih bunga yang menggairahkan, dapat menyebabkan modal asing batal kabur dan kurs rupiah tetap tangguh ?*

Saat ini, Bank Indonesia (BI) memang menyadari keluarnya aliran modal (Capital Outflow) masih terus terjadi. Sederet kebijakan dikerahkan agar investor masih bertahan dan kembali masuk ke dalam negeri. Namun apakah hal itu bisa menolong kemampuan sistem moneter Indonesia dari dampak destruktif ‘eksport’ resesi Amerika melalui suku bungan The Fed dan mata uang dolarnya?

Sejak awal Januari hingga 6 Oktober 2022, dana asing yang kabur dari Indonesia atau keluar dari dalam negeri (outflow) sudah mencapai Rp 167,81 triliun di Pasar Surat Berharga Negara (SBN). Yield SBN 10 tahun meningkat ke level 7,20% pada perdagangan saat itu.

BI telah melakukan pembelian dan penjualan SBN, sehingga yield SBN menarik dari investor luar negeri, agar tak membebani fiskal dan mendukung fiskal dari pemerintah. *Modusnya, menjual SBN tenor pendek dan membeli SBN tenor panjang dengan selisih bunga yang menggairahkan.* Namun sampai kapan, modus gali lobang tutup lobang ala BI ini mampu menolong kurs rupiah terhadap dolar amerika, dan membendung arus modal keluar ?

Saat ini, nilai rupiah terhadap dolar sudah diangka Rp15.624,65 per USD. Kenaikan nilai dolar ini akan membebani APBN, terutama untuk memenuhi kewajiban penunaian utang dan pembayaran belanja import.

Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Seminar Nasional Badan Keahlian DPR RI, Rabu (19/10/2022) melakukan Langkah yang ‘twist operation’, atau bahasa kampungnya gali lobang tutup lobang. BI menjual Surat Berharga Negara (SBN) tenor pendek, namun membeli untuk tenor panjang, dengan harapan begitu yield SBN akan menjadi kompetitif.

“Kita lakukan operasi pasar di SBN untuk memasikan yield SBN menarik dari investor luar negeri, namun tak membenani biaya fiskal dari APBN,” paparnya.

Problemnya, akan sejauh mana investor tertarik dengan selisih yield yang ditawarkan BI? *Kalau gagal menjual SBI tenor pendek, seberapa banyak cadangan devisa BI untuk memborong SBI tenor panjang, agar mampu menghambat laju Capital Outflow?*

Capital Outflow dan pelemahan rupiah sangat dipengaruhi oleh kebijakan fiskal dan moneter Amerika. Sejak diterpa badai resesi, Amerika menaikan suku bunga The Fed untuk menambal kebutuhan modal dan mungkin saja mencetak dolar tambahan tanpa diketahui dunia. Amerika, kemudian mengeksport resesi itu melalui mata uang dolar dan kebijakan moneternya melalui kenaikan suku bunga The Fed.