Tapi, untunglah ada retorika. Ini adalah sejenis peredam untuk memperkecil potensi benturan. Itu sebabnya setiap upaya untuk menyeret retorika ke hadapan pengadilan harus dikecam.
Menganggap Presiden sebagai “simbol negara”, sehingga mengkritiknya dianggap sebagai bentuk penghinaan, jelas anggapan salah kaprah. Konstitusi dan undang-undang kita tak pernah menyebut Presiden sebagai “simbol negara”.
Dalam BAB XV UUD 1945, terutama dalam Pasal 35 hingga 36B, jelas disebutkan yang dimaksud sebagai simbol negara adalah bendera, bahasa, lambang negara, serta lagu kebangsaaan. Soal simbol negara ini diatur lebih lanjut dalam UU No. 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaaan.
Kalau kita baca UU No. 24/2009, di dalam pertimbangannya dinyatakan bahwa bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara. Karena merupakan simbol negara, maka pidana yang diterapkannya adalah delik biasa, bukan delik aduan. Artinya, aparat bisa langsung menindak penyalahgunaan simbol-simbol negara tadi.
Jadi, sekali lagi, Presiden bukanlah simbol negara. Bagaimana Presiden bisa dianggap simbol negara, jika tiap lima tahun sekali harus diganti?
Pernyataan Rocky mengenai Pancasila juga tak pantas diadukan. Ia memang keliru ketika menyatakan yang tidak bisa diubah hanya bentuk negara, sementara Pancasila bisa diubah melalui amandemen. Padahal, ada dua hal yang tidak bisa diubah melalui amandemen konstitusi, yaitu (1) Pembukaan (Preambule) dan (2) bentuk negara. Sila-sila Pancasila itu adanya di Pembukaan, sehingga kedudukannya tidak bisa diamandemen.
Tapi, apa karena kekeliruan itu Rocky telah menghina Pancasila? Saya kira hanya mereka yang pikirannya sempit, atau baru “puber Pancasila” saja yang mengira demikian. Mereka ini biasanya merasa dirinya paling Pancasilais dibandingkan warga negara yang lain.
Bagi saya, orang-orang yang baru “puber Pancasila” ini jauh lebih pantas dikhawatirkan ketimbang Rocky Gerung. Pancasila adalah alat pemersatu, bukan alat pemecah-belah. Namun, di tangan orang-orang yang baru “puber Pancasila” ini, Pancasila kerap digunakan sebagai senjata untuk menyerang orang-orang atau kelompok yang berbeda pandangan. Ini sebenarnya adalah iklan yang buruk untuk Pancasila.
Ironisnya, selain Rocky, yang biasanya dijadikan obyek serangan adalah kelompok Islam. Saya sebut ironis, karena kalau kita baca lagi sejarah, secara politik Pancasila adalah hadiah terbesar umat Islam bagi bangsa Indonesia. Dari sisi nilai, tidak pernah ada kontradiksi antara ajaran Islam dengan Pancasila. Sehingga, membentur-benturkan Pancasila dengan kelompok keagamaan adalah upaya kontra terhadap persatuan.
Di tengah realitas kebangsaan kita yang pluri dan heterogen, tiap perbedaan mestinya didialogkan, bukan diancam untuk dipidanakan. Dan Pancasila adalah perangkat untuk membangun dialog tadi. Keliru sekali jika perangkat dialog kemudian justru digunakan sebagai senjata untuk menyerang.(end)
Penulis: De. Fadli Zon, M.Sc, Anggota DPR RI, Jurubicara Rakyat