RKUHP Disahkan, Tirani Minoritas DPR Terhadap Mayoritas Rakyat Indonesia

Oleh : Ahmad Khozinudin*

Sastrawan Politik

Draf RKUHP  yang terdiri dari 37 Bab dan 627 pasal, akhirnya disahkan DPR menjadi UU pada Rabu tanggal 6 Desember 2022. Agenda super penting ini dalam rapat paripurna pengesahannya hanya dihadiri secara fisik oleh 18 orang anggota DPR ‘yang terhormat’.

Sebanyak 285 dari total 575 anggota DPR absen (mbolos, mangkir). Sisanya, 108 orang hadir secara virtual dan 164 orang izin. (entah, izin tidur atau mau melahirkan).

Tentu saja, kondisi tidak layak ini telah dilegitimasi oleh Tatib DPR sejak era pandemi. Berdalih kopad kopid, semua serba online. Hingga soal pembahasan RKUHP yang berdampak luas dan menyangkut masa depan bangsa, dibahas juga secara online.

108 orang anggota DPR yang hadir secara online ini juga tidak bisa dipastikan, benar-benar mengikuti agenda atau tidur. Atau bahkan, mungkin saja mematikan camera, pasang DP, aktifkan koneksi, padahal fisiknya keluyuran kesana kemari.

Kalau menggunakan Tatib yang normal, tentu saja pengesahan RKUHP ini cacat formil karena tidak memenuhi quorum. Hanya dihadiri 18 dari total 575 anggota dewan ‘yang terhormat’.

Lalu, 18 orang ini mengesahkan RKUHP yang banyak ditolak publik, dipaksakan akan diberlakukan kepada 280 juta penduduk Indonesia. Ini jelas, sebuah tirani minorotas (DPR) terhadap mayoritas (rakyat).

Kalau DPR tidak tiran, tidak diktator, sebenarnya mudah saja mengakomodir kritik publik. Cukup hapus pasal-pasal kontroversi, yang jumlahnya hanya sepuluhan pasal.

DPR tidak akan merasa kalah, kalau hanya menghapus 10 pasal kontoversi seperti soal pidana demonstrasi, penghinaan presiden, penghinaan lembaga negara, pidana kontra pancasila, dll. Sebab, kalaupun DPR menuruti kehendak publik dengan menghapus 10 pasal kontroversi, berarti DPR masih punya 617 pasal yang bisa disahkan. Sebab, total pasal RKUHP 627 pasal.

Rakyat juga ga akan protes, kalau pasalnya tidak represif dan dalam rangka menertibkan masyarakat. Misalnya, rakyat tidak ada yang mempersoalkan pasal pembunuhan, pencurian, perjudian, penipuan, penggelapan, dll. Karena ini memang jelas-jelas kejahatan.

Rakyat hanya mengkritik demo dipidana, kritik DPR dan Presiden bisa dibui, menyampaikan pendapat dianggap kebohongan, pancasila diperalat untuk gebuk rakyat, dan seterusnya. Menyampaikan kritik dan pendapat kok dibilang penghinaan?