Intervensi kekuasaan Pemerintah ke dalam kampus cukup mengganggu iklim kebebasan akademik. UNPAD adalah satu model saja. Ikut campur eksekutif ke ruang akademik menjadi fenomena kekinian. Benteng kewibawaan kampus jebol dan rapuh. ITB dalam proses pemilihan Rektor diisukan akan menggandeng BIN dan BNPT. IPB dibuat “insiden” hingga dipredikatkan menjadi kampus radikal. UI lebih dulu lumpuh. UGM urusan agenda kuliah umum UAS saja dibatalkan dan dipolitisasi. Penelitian direkayasa agar sampai kesimpulan kampus banyak yang terpapar radikalisme. Dengan alasan ini Menristekdikti gesit berkoar dan masuk lebih dalam untuk mengatur dan menentukan.
Jika demokratisasi pendidikan dibusukan bahkan dimatikan, maka kampus tidak lagi menjadi tempat pembentukan kepemimpinan yang berkarakter. Mahasiswa yang diancam ancam akan menuai masa depan generasi yang lemah dan pengecut. Pimpinan perguruan tinggi yang dijadikan boneka penguasa hanya akan berperan sebagai “tangan birokrasi” yang lembek. Bermental bebek yang mudah digiring giring.
Pendidikan Tinggi bukan untuk menghasilkan orang orang yang pintar saja. Pendidikan karakter jauh lebih penting. Negara dan bangsa butuh pemimpin yang berkarakter kuat, mandiri, dan siap menerobos hambatan sistem. Kebijakan negara nampaknya kini mengarah pada sentralisasi kekuasaan. Menguasai semua, mengendalikan, dan ingin selalu dipatuhi. Negara yang tak bisa dikritik apalagi dilawan. Negara yang sedang menciptakan pemimpin-pemimpin yang bermental “abdi dalem”.
Kita tak ingin bangsa diisi oleh sumber daya manusia antagonistik. Ingin maju tapi konvensional dan primordial, ingin berteknologi tapi mistik, ingin berbudaya tapi primitif, dan ingin merdeka tapi bermental budak. Stop penjajahan oleh bangsa sendiri. Rektor harus mandiri dan menjadi representasi dari civitas academika bukan representasi kekuasaan otoritarian atau oligarkhis. Tak pantas insan akademis menjadi “abdi dalem”. Sangat tidak pantas.
Vivat academia, Vivant Professores..!
M Rizal Fadillah
Pemerhati Politik(rmol)