Keempat, Perjanjian Hudaibiyah adalah bagian dari perjalanan kepemimpinan “profetik” dengan standar leadership dan followership yang berkualitas imani. Adapun pertemuan Lebak Bulus adalah perjalanan kepemimpinan “demokratik” dengan otoritas pengikut berdasarkan asas “kerakyatan” sehingga di antara keduanya memiliki dimensi yang berbeda. Yang pertama penegakkan ibadah agama, sedangkan yang kedua adalah perjuangan menegakkan kedaulatan rakyat.
Kelima, keraguan dan pembangkangan pengikut segera selesai dengan “tindakan nyata” percontohan Nabi dengan aksi nyata Nabi sendiri ber”tahalul” mencukur. Lalu diikuti dan selesai. Dalam “pertemuan gerbong” Lebak Bulus penolakan atau kekecewaan tersebut tanpa ditindaklanjuti langkah konkrit Prabowo yang menenangkan atau meyakinkan.
Inti dari semua adalah baiknya kita gunakan argumentasi rasional dan strategis yang memberi kesabaran dan keyakinan menuju kemenangan perjuangan. Hudaibiyah terlalu jauh sebagai hujjah. Malah bila salah salah bisa menyalahkan Hudaibiyah padahal kekeliruan langkah yang tak mulus itu adalah pada peristiwa Lebak Bulus.
Kita tentu masih berharap ada hikmah dari pilihan langkah menuju keberhasilan perjuangan. Tapi jangan melegitimasi dengan dalil sejarah yang terlalu jauh, yaitu perjuangan kenabian. Terlalu naif menyetarakan Perjanjian Hudaibiyah dengan pertemuan Lebak Bulus. Sama saja menyetarakan Dinosaurus dengan Katak kurus.
Ini saja kok masalahnya.
Bandung, 15 Juli 2019 (*)
Penulis: M. Rizal Fadillah, Aktivis Senior (glr)