Rezim Baru dan BBM Lima Ribu Rupiah

Jika negara kaya raya seperti Indonesia bisa digenggam oleh elit-elit yang cinta rakyat, yang bekerja berdasarkan UUD 45 Asli pasal 33, sila ke-5 Pancasila dan tujuan kemerdekaan seperti pada preambul UUD45, maka persoalan harga BBM tidak menjadi urusan ruwet lagi nantinya.

Oleh: Dr. Syahganda NainggolanAlumni ITB

PEMERINTAH menaikkan harga Pertalite dan Solar masing-masing sebesar 31% dan 34%. Alasannya adalah harga keekonomian dan subsidi tidak tepat sasaran. Lalu mahasiswa bergerak marah di berbagai penjuru bumi pertiwi.  Ketua-ketua partai asyik masyuk kasak kusuk cari pasangan copras capres tak peduli. Kaum buruh menjerit, bayang-bayang PHK muncul, baik jutaan buruh sektor otomotif yang baru akan pulih setelah kenaikan BBM 2014 dan pandemi, maupun buruh berbagai sektor lainnya. Ibu-ibu rumah tangga mulai hitung menghitung tambahan inflasi kebutuhan pokok yang akan sangat besar kali ini.

Benarkah harga keekonomian terlalu tinggi?

Sehingga subsidi yang diberikan pemerintah naik 3 kali lipat menjadi Rp. 502 Triliun tahun ini. Benarkah pernyataan Jokowi bahwa orang kaya menikmati subsidi BBM itu dalam porsi 70%? Bagaimana dengan 120 juta pemilik sepeda motor, apakah mereka orang-orang yang dituduh Jokowi penikmat subsidi tidak tepat sasaran itu?

Tentu saja pemerintah boleh menaikkan harga BBM jika memang hal itu dapat dimengerti oleh Rakyat Indonesia. Namun, jika itu sebuah kebijakan yang salah, ketika ekonomi mulai bangkit setelah dua tahun kehancuran akibat pandemi, maka nasib rakyat bisa terperosok lebih buruk lagi.

Bagaimana mengukur kebenaran dari kebijakan pemerintah ini, khususnya masih terngiang berita di bulan Juli, di mana Jokowi menyampaikan pada Forum Pemred, bahwa sepanjang tahun 2022 ini tidak ada kenaikan BBM.