Kebijakan ini tipikal liberalistik. Cara ini juga bekerja pada kebijakan penyediaan dana program pemulihan ekonomi nasional. Menurut PP nomor 23 Tahun 2020, dana itu ditaruh di Bank-Bank Peserta. Jumlahnya, sejauh ini tidak pasti. Tetapi terlepas dari besarannya, penempatan dana ini di bank peserta, telah menjadi soal tersendiri.
Dapatkah skema ini dinilai sebagai dana talangan kepada bank-bank itu? Apakah dana yang disalurkan kepada Bank Pelaksana sama nilainya dengan nilai restrukturisasi kredit yang dilakukan Bank Pelaksana itu? Berapa selisih kredit antara korporasi besar dengan UMKM yang jumlahnya jutaan itu? Tak cukup jelas sejauh ini.
Terungkap Salah Urus
Wajar Menkeu dan BPS memiliki penilaian yang mirip tentang postur perekonomian republik ini. Pernyataan mereka di DPR, jelas maknanya. Inti pernyataan mereka adalah Indonesia memiliki potensi resesi. Sebabnya pertumbuhan ekonomi bisa negatif. Menkeu menilai pertumbuhan ekonomi bisa minus sekian 3,8%, lebih kecil dari perkiraan BPS. BPS memperkiraan ekonomi bisa minus 4,8 %. Bahkan kata Kepala BPS ada yang memperkirakan bisa minus sekitar 7 % (CNNIndonesia, 22/6/2020).
Entah berapa uang tersedia di BI dan berapa uang beredar dipasar. Ini tidak diketahui. Kalaupun diketahui, soalnya adalah apakah angka-angka yang disajikan itu kredibel? Soal lainnya apakah negara lain bisa dijadikan sandaran mendapatkan pinjaman? World Bank dan IMF, dua lembaga jago membuat susah negara miskin ini, bisa dipanggil untuk menolong?
Resesi ekonomi tahun 1929 memberi ceritanya. Jerman hanyalah satu diantara sejumlah negara Eropa yang berantakan usai perang dunia pertama. Untuk mencegah meluasnya crash itu, Amerika mengambil prakarsa menolong negara-negara itu, terutama Jerman.
Presiden Calvin Collidge membentuk apa yang dikenal dengan Daves plan. Ini diresmikan dan mulai beroperasi pada tahun 1924. Tetapi orientasi tersamar plan ini, adalah mendahulukan Jerman. Dalam kenyataannya, sejumlah faktor tak teridentifikasi, bekerja dengan cara sendiri. Hasilnya performa ekonomi Jerman terus memburuk.
Muncullah plan lain. Namanya Young plan. Plan ini dirancang oleh Presiden Herbert Hoover, yang pada awal masa pemerintahannya great resesion itu terjadi. Plan ini dirancang dan dioperasikan tahun 1928, setahun sebelum great depression. Walau berbeda dalam titik tekan, Plan ini dimaksudkan mencegah krisis di Eropa, khususnya Jerman.
Tetapi Anggela Lanette Smith dalam Economic Revolution From Withim; Herbert Hoover, Franklin D. Rosevelt and the Emergence of The National Industrial Recovery Act, kebijakan-kebijakan itu tak kunjung membuahkan hasil. Penyebabnya beragam. Tetapi esensinya satu; uang bukan hanya tidak lagi cukup beredar ditengah masyarakat, tetapi uang pemerintah juga minus.
Menariknya korporasi-korporasi besar Amerika justru mengalihkan investasinya ke Jerman. Bank-Bank utama Amerika meminjamkan kepada korporasi besar Jerman pada kisaran 50-75 %. Tidak itu saja, J.P Morgan menyediakan uang untuk korporasi Jerman antara $100 sampai dengan $200 juta. Chase dan Guaranty Trust menyediakan tidak kurang dari dua miliyar dollar.
Jerman, karena terus berorientasi pada infrastruktur canggih, terutama perang, yang tak banyak menyerap tenaga kerja, menjadi penyebab terbesarnya. Jerman akhirnya terjatuh dalam krisis juga. Pada saat yang sama Amerika, hanya membutuhkan satu pukulan kecil, krisis pasar uang, untuk memastikan gerak lanjut ke titik yang sama; resesi.
Indonesia hari ini? Itu soalnya. Terlihat babak belur. Pengakuan Menkeu dan Kepala BPS tentang performa ekonomi dan respon Presiden terhadap postur pemerintahan jelas dalam semua aspeknya. Republik terlihat sedang babak belur, dan berada disimpang jalan salah urus.
Paradoksnya elemen-elemen dasar republik, juga terlihat merosot terus. Tampilan penegakan hukum dan politik terus menjauh dari harapan keadilan. Kesetaraan dan kepastian hukum semakin kabur. Privilege khas tata negara dan politik liberalistik masih juga bekerja dengan caranya yang khas.
Memilukan, kritik dipukul dengan tuduhan makar, penyebar berita bohong dan penghinaan melalui media elektronik. Nuansa fasistik terlihat bekerja memburu intelektual kritis. Liberalistik dan fasistik terlihat berpapasan dengan irama menjungkirbalikan republik.
Bisakah segera muncul harapan untuk menyembuhkannya? Mari bermimpi, semoga republik ini tidak terus-terusan tengelam dalam cara itu. Rindukanlah solusi bijak dari para menteri. Menteri memang harus berkreasi.
Tetapi republik memesankan, jangan lupa kerangkakan kebijakan itu dalam hukum. Dalam ilmu hukum, krisis tidak bisa dinyatakan secara lisan. Krisis harus dinyatakan secara hukum. Tanggung jawab kolektif, bukan karakter tanggung jawab dalam hukum. Hukum hanya mengenal tanggung jawab individual.
Bijak itu harus, tetapi hukum republik memiliki cara mengkualifikasi bijak sebagai motif suatu tindakan hukum. Republik memang sedang merana, tetapi menginjak-injak hukum, bukan pilihan yang ditawarkan republik. Temukanlah cara bijak yang dibenarkan hukum. **
Penulis: Dr. Margarito Kamis, SH, M. Hum (Pakar Hukum Tata Negara dan Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.)
(Jft/FNN)