Bagaimana dengan orang yang kehilangan pekerjaan? Ini memang tak disinggung Presiden. Boleh jadi itu disebabkan mereka ini, segelintir di antaranya telah ditolong dengan berbagai cara. Salah satunya melalui kartu pra kerja. Pemegang kartu ini dilatih negara, melalui sejumlah korporasi. Pelatihan ini dibiayai dengan uang negara yang jumlahnya lumayan besar.
Indah hanya dalam ucapan, itulah yang bisa dipetik dari temuan KPK atas proyek ini. Masalahnya terlihat meliputi hamper seluruh aspek pelaksanaan proyek ini. Dalam identifikasi KPK, 5 dari 8 platform pelaksana proyek ini memiliki konflik kepentingan. Penggunaan fitur face recognition untuk kepentingan pengenalan peserta dengan anggaran Rp. 30,8 miliar tidak efisien” ungkap Alexander Marwata.
Materi pelatihan teridentiikasi bermasalah. Pak Alexander, Komisironer KPK menegaskan metode pelaksanaan pelatihan beroptensi fiktif. 327 dari 1895 materi pelatihan yang dijadikan sampel dibandingkan dengan ketersediaan materi itu di jejaring internet, diperoleh hasil adalah 89% materi pelatihan tersedia di internet dan tidak berbayar.
Cukup menarik, KPK menemukan kenyataan lembaga pelatihan telah menerbitkan sertifikat meskipun peserta belum menyelesaikan keseluruhan paket pelatihan yang telah dipilih. Sungguh eksplosif, KPK menemukan kenyataan peserta telah diberi insentif meskipun belum menyelesaikan seluruh pelatihan yang sudah dibeli. Negara dalam kenyataannya, menurut temuan KPK ini, tetap membayar pelatihan yang tidak diikuti oleh peserta itu (Lihat Sindonews. Com, 18/6/2020). Hebatnya KPK tidak menemukan kerugian keuangan negara.
KPK tentu saja tidak mendeteksi program lainnya. Program Bansos misalnya tidak diidentifikasi KPK. Program untuk orang-orang yang kesulitan hidup ini, di DKI Jakarta misalnya sempat mengundang soal. Program yang dalam sejarahnya diawali di Amerika Serikat tahun 1933 ini, memang bermaksud memunculkan tatanan baru bernegara ditengah krisis keuangan.
Tetapi silang pendapat antara Pemda DKI dengan pemerintah pusat dalam merealisasikan program ini, jelas. Tatanan program ini, tidak kokoh. Terlihat tiba saat tiba akal. Sama pada level tertentu dengan kebijakan penyediaan insentif terhadap usaha mikro, kecil, dan supermikro yang jumlahnya jutaan.
Kebijakan memperpanjang durasi waktu pembayaran kredit, berikut bunganya, memang berspirit republik. Reklaksasi sekitar 3,7 jutaan debitur yang didukung dana sebesar Rp. 123, 46 trilyun, memang telah telah dimanfaatkan oleh 1,25 juta debitur. Tetapin bagaimana dengan dua jutaan lebih yang tersisa? Bagaimana mereka? Belum jelas skemanya.
BRI disisi lain, entah ditugaskan atau mengambil prakarsa sendiri, entah untuk menjaga pertumbuhan kredit atau mendukung upaya konstitusional pemerintahan, menyediakan kredit bagi ojek online. Mereka jadi target pemberian kredit. Besaran kreditnya berada pada kisaran Rp. 5-20 jutaan rupiah.
Tepatkah kebijakan ini? Itulah soalnya. Ini terlihat sebagai kebijakan kritis. Akankah kebijakan-kebijakan ini berkontribusi mengubah secara signifikan penampilan ekonomi republik ini? Akankah kebijakan ini platform konstitusional di sektor ini? Apakah kebijakan tipikal benar-benar diletakan di meja prioritas kebijakan pemerintah? Itu soalnya.
Daya lobi UMKM kalah menggigit dibanding korporasi. UMKM memang menyediakan 99% total lapangan kerja, dan menyerap tenaga kerja sebesar 97%. Tidak itu saja, total investasi mereka sebesar 58, 18%. Dilihat dari sisi GDP kontribusi mereka sebesar 60% (Lihat CNBCIndonesia, 19/6/2020).
Sialnya sektor top ini hanya ditopang dengan dana sebesar Rp. 123, 46 trilyun. Jumlah ini lebih kecil dari utang PLN. Menurut Dirut PLN (Persero) dalam lima tahun terakhir PLN mencatat utang mendekati Rp. 500 trilyun.
Setiap tahun PLN mencatat Utang Rp. 100 trilyun. Utang-utang ini terjadi karena PLN tidak punya duit, tetapi harus membiayi proyek yang sedari awal telah dikritik ini. Akhirnya harus berhutang. Ini disampaikan Dirut PLN dalam Rapat Dengar Pendapat PLN dengan Komisi VI DPR RI tanggal 25 Juni 2020.
Garuda Indonesia, korporasi berstatus hukum sama statusnya dengan PLN, yakni sebagai BUMN, disisi lain juga memperoleh pertolongan dari pemerintah. Pendapatan mereka selama covid anjlok sebesar 90%. Agar tidak tambah berantakan, pemerintah menyuntikan dana melalui skema dana talangan untuk menambah modal kerja, juga untuk efisienssi. Nilainya Rp. 8 trilyun (Lihat Antaranews.Com, 5/6/2020).
Liberalisme menjadikan Korporasi sebagai entitas ekonomi, dengan kekuatan politik besar. Atas nama program percepatan pengembangan biodiesel, pemerintah memberi subsidi industri biodiesel sebesar Rp. 2,78 trilyun. Sebelum kebijakan ini, industri biodiesel telah mendapatkan mayoritas dana Sawit sebesar 8,5% yang dikumpulkan oleh BPDKPS sebesar Rp. 38 trilyun sejak 2015-2019. Rata-rata Rp. 7 Trilyun per tahun.
Perlakuan liberalistik ini dikritik Gamal Nasir, Ketua Dewan Pembina Persatuan Organisasi Petani Sawit. Menurutnya dibandingkan industri biodisel, petani Sawit hanya memperoleh bantuan sebesar Rp. 1,7 trilyun pada tahun 2020 ini. Bantuan ini diberikan melaui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Menurut Gamal industri biodiesel tidak perlu disubsidi.
Selama Covid 19, perusahaan biodiesel Wilmar misalnya, yang mengelola program B30 sudah menyumbang 1 trilyun rupiah untuk pencegahan Covid. Itu sebanya Gamal berpendapat industri biodiesel masih mampu bertahan ditengah covid. Selain memberi subsidi, pemerintah juga menaikan pungutan CPO/dana sawit dari U$ 50/ton menjadi U$ 55/ton. Pungutan ini merugikan petani, karena menurunkan sekitar 120150 per kg (Lihat Investor Daily, 7/6/2020).