Ciri utama mereka, menyerang orang atau kelompok. Seringkali membabi buta. Kalau ada sedikit otak, mereka menggunakan data. Data yang digunakan kadang ngawur. Dipaksakan supaya analisisnya meyakinkan. Dan di dalam narasinya sering ada kebohongan, bahkan fitnah. Pokoknya, bebas moral. Yang penting dibayar.
Biasanya, buzzer komersial ini tidak banyak jumlahnya. Ini berkaitan dengan keterbatasan anggaran. Tapi, mereka profesional. Ini bisa dilihat pada buzzer penguasa sebagai samplenya. Yang bicara di tv, nge-vlog, bikin video, buat tulisan, komen di medsos, ya orang-orang itu aja. Kalau gak yang pakai blangkon, di kepalanya ada udeng-udeng, ya lelaki berkaca mata. Atau sosok lelaki tengah baya yang gonta ganti partai, atau penulis yang pamer bahasa inggris. Jumlahnya gak lebih dari 10 orang. Karena gencar, masif, terlatih dan ada fasilitas, akibatnya berisik juga. Seolah isi medsos hanya mereka.
Mereka hanya muncul saat ada kritik pada kebijakan pemerintah. Sekali lagi, ini hanya sekedar sample. Sample yang lain adalah munculnya para konsultan politik berbungkus survei saat pemilu. Kalangan ini lebih banyak iklan. Dan mereka dibayar untuk terus beriklan. Ngecap, maksudnya. Sesekali bikin meme. Namanya juga lagi nyari duit. Inilah buzzer komersial.
Maraknya dunia per-buzzer-an di Indonesia ini cukup menghawatirkan. Sebab, dunia persepsi rakyat akan dikendalikan oleh iklan. Tepatnya, pencitraan. Jadi, banyak pemimpin daerah, anggota DPR, boleh jadi juga presiden yang terpilih bukan karena integritas dan kemampuannya, bukan pula karena track record kerjanya, tapi karena iklan. Ini bahaya! Dan inilah yang terjadi selama ini. Maka muncullah istilah “petruk dadi ratu”.
Jika banyak bupati, walikota, gubernur, anggota DPR dan presiden lahir karena iklan buzzer, maka negeri ini sudah jadi “Republik Buzzer”. Sungguh ini telah jadi petaka! (*)
Penulis: Dr. Tony Rosyid