Kaburnya Roki Apris Dianto, terpidana kasus terorisme yang menjalani hukuman di Rutan Polda Metro Jaya menyisakan banyak pertanyaan. Salah satunya, apakah Polri kecolongan ataukah justru sengaja diloloskan?
Konon Roki yang dijatuhi hukuman enam tahun terkait kasus terorisme menyaru sebagai perempuan dengan memakai cadar. Aksi ini bertepatan dengan kehadiran 23 pembesuk perempuan yang semuanya bercadar. Namun ada kejanggalan terkait kaburnya Roki. Ia tidak termasuk dalam daftar napi yang menerima kunjungan pembesuk hari itu.
Semua pihak langsung menyerang Polri yang dianggap tidak becus mengamankan tahanannya sendiri. Namun, persoalannya, apakah Roki memang kabur atau ada rekayasa untuk meloloskan dirinya?
Lolosnya tawanan terorisme sebenarnya bukan kisah baru di zaman modern ini. Tahun 200.. Fathurrahman Al-Ghazi berhasil meloloskan diri dari penjara di kamp militer Aguinaldo, Manila. Arek Madiun ini sukses mengelabui para penjaga pada suatu malam dan bisa keluar. Ia sempat menikmati udara bebas selama beberapa bulan sebelum menemui ajal dalam sebuah pertempuran di Mindanao Selatan.
Umar al-Faruq, tawanan terorisme yang diserahkan oleh intelijen Indonesia kepada CIA bahkan bisa meloloskan diri dari Kamp Bagram di Afghanistan. Umar berhasil kabur dari kamp yang dijaga ketat pasukan Amerika itu bersama beberapa tawanan Afghan.
Sekian waktu berselang, ternyata Umar telah mencapai Irak. Ia tewas tertembak dalam sebuah penyergapan besar-besaran yang digelar pasukan Inggris di Kota Basra. Rupanya Umar berhasil keluar dari Afghan kemudian menyeberang ke Irak melalui Iran.
Siapa Diuntungkan?
Kembali pada kasus kaburnya Roki, analisis bisa digelar tentang hal itu. Pisau analisis kriminologi, “pelaku potensial sebuah kejahatan adalah yang pihak yang paling diuntungkan dengan kejadian itu,” bisa dipinjam untuk membedahnya.
Dalam kasus lolosnya Roki, siapakah yang paling diuntungkan?
Pertama, untung rugi bagi Roki. Dia dihukum enam tahun. Tak jelas mulai kapan hukuman itu berlaku, Namun ia ditangkap tahun 2011 lalu di Sukoharjo. Taruhlah ia telah menjalani satu tahun hukuman, masih ada sisa lima tahun. Namun Roki masih bisa mengharapkan remisi jika ia dianggap berkelakuan baik.
Meski aturan remisi bagi kasus terorisme diperketat oleh Menkumham Amir Syamsuddin, harapan remisi itu tetap ada. Sementara posisi Roki di Rutan Polda Metro sebenarnya masih lebih “nyaman” dibandingkan para terpidana terorisme lain, termasuk Ustadz Abubakar Ba’asyir, yang bulan lalu dipindahkan ke Nusakambangan.
Kedua, bagaimana kalkulasi untung ruginya buat polisi? Ada beberapa hal yang dipertaruhkan polisi jika mereka meloloskan Roki. Yaitu citra polisi di hadapan publik dan pengaruhnya bagi operasi pemberantasan terorisme.
Soal citra, kaburnya Roki memang menambah kritik dan kecaman kepada Polri. Tapi bukankah tanpa ada kasus seperti inipun citra polisi sudah buruk di negeri ini? Kasus rekening gendut, cicak-buaya hingga Polri vs KPK hanyalah segelintir contoh. Jadi, pertimbangan citra tak terlalu jadi masalah, nothing to lose.
Dari sisi operasi, justru penangkapan dan penembakan terduga teroris selama ini menjadi credit point utama polisi, terutama Densus 88. Sampai muncul pertanyaan di tengah masyarakat, mengapa setiap kali ada isu kasus besar mengancam polisi selalu muncul berita penangkapan teroris?
Kaburnya Roki menambah jadwal operasi Densus 88. Biasanya akan muncul penangkapan-penangkapan lain dengan tuduhan “menyembunyikan teroris” atau “membantu pelarian teroris.” Jadwal bertambah, anggaran pun bertambah.
Mengurangi Hak
Di sisi lain polisi juga pernah mengeluhkan susahnya memutus dukungan publik pada “terorisme.” Upaya deradikalisasi yang digelar Polri bersama BNPT dengan dana luar biasa ternyata tak begitu sukses.
Upaya lain pun ditempuh. Antara lain mengkampanyekan bahwa teroris, yang seluruh pelakunya adalah Muslim, adalah musuh masyarakat bahkan kemanusiaan. Bahaya dan ketakutan pada teroris selalu dihembus-hembuskan. Hak-hak asasi manusia mereka yang dituduh teroris kerap dilanggar. Penangkapan, pengerebekan hingga penembakan tanpa mengindahkan prosedur hukum menjadi kebiasaan.
Ada kekhawatiran bahwa kaburnya Roki akan menjadi alasan mengurangi hak para tersangka dan terpidana teroris. Dengan alasan keamanan dan menghindari tahanan melarikan diri, bisa jadi ijin besuk akan lebih dipersulit.
Di sisi lain, ada black campaign terhadap muslimah bercadar. Mereka yang menjalankan sunnah menutup muka itu menjadi kambing hitam karena dikabarkan Roki kabur dengan mengenakan cadar. Hal ini mengingatkan kejadian serupa di masa lalu, ketika isu biskuit dan makanan beracun merebak, diisukan bahwa penyebar racun di pasar-pasar tradisional menyamar dengan jilbab dan cadar.
Kampanye hitam terhadap muslimah berhijab, dan terutama bercadar, memang gencar dilakukan. Beberapa negara Barat bahkan telah melarang penggunaan cadar. Kecurigaan selalu dihembus-hembuskan terhadap penampilan mereka yang ingin menutup auratnya dengan sempurna. Akankah Indonesia mengikuti jejak buruk itu? Na’udzubillah min dzalik.