Ratna Sarumpaet, Kekerasan Politik, dan Demokrasi Kita

Khusus untuk SBY, meskipun berlatar belakang militer, komitmennya terhadap demokrasi begitu kental. SBY mendorong dicabutnya pasal penghinaan terhadap presiden dalam KUHP, terkait adanya kasus Eggi Sujana dan mantan wakil ketua DPR RI, Zainal Maarif.

SBY juga tidak memangkap Rizal Ramli yang menggerakkan demo anti kenaikan BBM, 2008, padahal terjadi kerusuhan dan bakar membakar mobil di depan DPR.

SBY juga tidak menangkap para aktifis yang membawa Kerbau bertuliskan dirinya (SBY) ke depan istana.

SBY dalam konteks demokrasi adalah penyayang rakyatnya. Tidak ada orang luka atau mati terbunuh (seperti alm. Munir) di masa SBY.

Kekerasan politik adalah sebuah kejahatan besar dalam demokrasi. Setting politik demokrasi adalah menghargai perbedaan. Berbeda dengan rezim otoriter, settingnya memang pembungkaman hak hak asasi untuk berpendapat, berkumpul dan berdemonstrasi.

Demokrasi Kita

Ratna Sarumpaet adalah pejuang seumur hidup. Pada 1997 saya (MPKR= Majlis Permusyawaratan Kedaulatan Rakyat) dan dia (bersama Ulil dan alm. Arnold Purba) membuat acara bersama di Tugu Proklamasi melawan Suharto. Ratna mementaskan teater Merah Putih, setelah orasi Alm. Dr. Adnan Buyung Nasution dan Dr. Sri Bintang Pamungkas. Perjuangan dia dan mayoritas aktifis lainnya adalah menumbangkan Suharto demi adanya kebebasan. Kebebasan apa?

Dalam demokrasi kebebasan yang dicari adalah kebebasan bersuara, berkumpul, berorganisasi, dan berdemonstrasi, mengatakan pendapat.

Kebebasan ini adalah harga mahal, yang tidak diperjuangkan oleh orang2 dahulu bersekutu atau jadi pemain band metalika jaman Suharto.
Ini diperjuangkan oleh Ratna Sarumpaet.