Rakyat Harus Bicara Politik

Oleh Abdurrahman Syebubakar,  Majelis Habaib Progresif

MULAI dari melonjaknya harga bahan pokok, gas elpiji, tarif listrik dan jalan tol hingga menggunungnya utang luar negeri dan pemindahan ibu kota oligarki adalah produk politik para politikus melalui proses politik.

Pertimbangan dan kepentingan politik menentukan lahirnya produk politik. Langsung maupun tidak langsung, produk politik berdampak terhadap kehidupan seluruh rakyat dan kelak menentukan nasib anak cucu kita.

Dan perlu dicatat, para politikus yang melahirkan produk politik lahir dari rahim rakyat melalui pemilu lima tahunan. Proses politik ini terjadi di lingkup entitas politik bernama negara bangsa yang melahirkan para politikus untuk mengatur urusan politik.

Jangankan dalam relasi kepentingan dan kebijakan publik, kondisi keseharian kita tidak lepas dari politik. Seperti kata Aristoteles bahwa “manusia berhubungan dengan manusia lain dalam relasi politik”. Dalam buku “Politics” nya, sang Filsuf Yunani ini mengungkapkan, “man is by nature a political animal”, manusia pada hakekatnya adalah makhluk politik.

Agama sekalipun, yang di dalamnya menyangkut urusan pribadi dan hubungan transendental manusia dengan tuhan-nya, tidak luput dari politik. Baik politik dalam arti terbatas, untuk mempengaruhi orang lain agar mengikuti ajaran agama yang diyakini, maupun kaitannya dengan upaya meraih dan mempertahankan kekuasaan politik atas nama (syiar dan tegaknya) agama di ruang publik.

Mahatma Gandhi (1922), bapak pendiri India pernah bernubuah: “Aku tidak bisa membagi sebuah pekerjaan apakah itu sosial, ekonomi, politik, dan religius murni ke dalam kompartemen yang kedap air. Semuanya terkait dan saling mempengaruhi. Aku tidak tahu ada sebuah agama yang berpisah dari aktivitas manusia [termasuk politik]”

Semua agama bisa tegak dan menyebar ke sembarang tempat berkat politik. Islam, misalnya, sejak kehadirannya 14 abad silam, selalu bersentuhan dengan masalah politik, meskipun tidak ada kesepakatan tentang konsep dan rumus politik, terutama dalam hubungannya dengan agama.

Terlepas dari keterbelahan dalam memaknai hubungan Islam dan politik, politik Islam adalah politik adiluhung (virtuous politics) yang bertujuan menghadirkan rahmatan lil ‘aalamin (keberkahan bagi seluruh alam semesta) dengan strategi ‘amr ma’ruf nahi mungkar (menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran).

Kendati diperhadapkan dengan realitas semesta politik dengan dampak luas bagi kehidupan rakyat, kini dan mendatang, sebagian warga tidak peduli dengan politik (a-politik). Bahkan mengaku alergi membicarakannya (anti-politik).

Padahal, menghindar dari obrolan politik adalah politik. Sikap diam merupakan simbol persetujuan terhadap apapun yang dilakukan oleh para politikus. Silence implies consent (diam adalah persetujuan), kata para ahli komunikasi politik.