Eramuslim – Salam dua jari! Inilah simbol yang saat ini dijadikan trend bagi rakyat untuk melakukan perlawanan (civil disobedience). Tentu kepada penguasa. Medsos hari ini dipadati dengan salam dua jari.
Simbol ini menyasar pertama, kepada Jokowi. Di acara massal yang dihadiri Jokowi, hampir selalu muncul simbol dua jari. Bahkan disamping Jokowi, seorang mahasiswa memamerkan salam dua jari di depan kamera, sebelum Paspampres memegang tangannya. Kedua, kepada elit lingkaran Jokowi. Viral video Nusron Wahid dan Ngabalin, “pendukung paling keras” Jokowi, dikelilingi emak-emak dengan salam dua jari. Ketiga, menyasar kegiatan massal yang didesign untuk memgumpulkan para pendukung Jokowi.
Ini ganjil. Sebuah fenomena yang secara etik patut dicari faktor penyebabnya. Yang pasti, salam dua jari adalah bagian dari bentuk perlawanan rakyat. Soft, tanpa ada konsekuensi hukum. Tapi, efektif pesannya. Apa pesan itu? Ganti Presiden!
Rakyat yang mana? Pertanyaan ini akan selalu hadir. Logis! Memang perlu ditanyakan, rakyat yang mana? Yang pasti, sejumlah hasil survei merilis bahwa rakyat yang ingin ganti presiden selalu lebih banyak jumlahnya. Berarti, rakyat mayoritas. Soal apakah mereka ikhlas menyerahkan pergantian itu ke Prabowo? Perlu dibuktikan di 2019. Dengan catatan, tak ada kecurangan. Tak ada manipulasi di pilpres.
Berbagai kejanggalan terkait DPT, temuan 31 juta KTP ganda dan KTP berserakan, operasi aparat dan birokrat yang tertangkap kamera medsos, serta kotak suara kardus yang kerendam air mendorong rakyat untuk semakin mempertanyakan proses pilpres 2019. Public distrust tumbuh pesat. Ini perlu segera diatasi agar pilpres tidak cacat hukum dan politik.
Kenapa rakyat harus melawan? Dan kenapa mereka menuntut pergantian presiden? Ini penting untuk dijawab agar proses suksesi dan peralihan kepemimpinan memiliki alasan rasional, bukan semata gelombang emosional.