Nah, bersamaan dengan semaki populernya jargon itu tiba-tiba muncul semacam radikalisasi. Di mana-mana muncul konflik. Tak hanya perang kata malah mulai muncul kekerasan mulai dari perebutan tanah dan lahan kebun tebu hingga percekcokan politik. Tokoh Masyumi Buya Hamka, Mr Moh Roem, dan lainnya masuk bui tanpa pengadilan. Dan ujung dari konflik ini adalah mencapai puncak dalam tragedi berdarah pemberontakan G30S/PKI. Masa rakyat saling bunuh.
Ketika zaman sudah berlalu, di dekade tahun 1980-an juga keluar pomeo yang ‘serupa meski tak sama’. Sebagai imbas revolusi Islam Iran pada tahun 1979 di masyarakat muncul gairah ke Islam yang kencang. Tak hanya berbagai pengajian yang muncul, Muslimah perempuan getol memakai jilbab.
Celakanya, kegairahan ber-Islam dengan berjilbab dipandang negatif oleh kekuasaan. Maka muncul berbagai tindakan pejoratif —bahkan persekusi— kepada mereka yang berjilbab. Kasus pelajar putri yang dikeluarkan dari sekolah mulai muncul. Muncul kisah ‘aneh-aneh’ yang tersebar misalnya kisah jilbab beracun.
Uniknya dalam waktu bersamaan muncul juga organisasi yang membawa ide berjuang membawa kekerasan, misalnya Komando Jihad (Komji) yang dipimpin anak muda tamatan SMA asal Medan, Imron. Kemudian muncul berbagai tindakan pengeboman dari bank hingga candi borobudur yang dikaitkan dengan mereka. Bahkan ada yang sangat menghebohkan yakni terjadinya pembajakan pesawat Garuda Woyla yang tengah terbang dari Jakarta ke Palembang. Pesawat ini dibajak dan di terbangkan hingga ’nyelonong jauh’ ke Bandara Don Muang, Thailand.
Pada kurun yang sama juga muncul tragedi berdarah Tanjung Priok. Tiba-tiba kerusuhan meledak di dekat pelabuhan Jakarta itu. Awalnya hanya konflik yang dipicu dari kemarahan biasa karena ada Babinsa masuk masjid tanpa copot sepatu. Saat itu dia ‘kebelet’ memberangus poster yang terpasang di dinding masjid yang dianggap tak sesuai dengan idiologi bangsa, Pancasila. Poster itu dianggap tak sejalan dengan rezim tengah gandrung asal tunggal Pancasila.
Maka dari sanalah api kerusuhan mulai makin besar. Meski dari pandangan berbagai orang api dalam sekamnya adalah soal represi kepada umat Islam, terutama akibat lanjutan dari sikap rezim yang memberangus pihak mengkritisi pemerintah yang tergabung dengan Petisi 50. Di sana ada sosok sangat terkenal yakni AH Nasution, M Natsir, Ali Sadikin, Hartono, dan lainnya. Tak hanya itu kelompok ini dikaitkan dengan kerusuhan Tanjung Priok karena di sana ada sosok seperti AM Fatwa. Khusus pada kasus ini selain banyak orang yang terbunuh, banyak juga yang sampai sekarang hilang. Namun, meski sudah dibentuk khusus pencari fakta oleh Komnas HAM seusai datangnya reformasi 1988, kejelasan kasus ini tetap abu-abu.
Meski terkesan kuat Islam polotik disudutkan, pada saat itu gairah ke Islaman dan berjilbab oleh perempuan Muslim, tak bisa dicegah bahkan meluas. Perlahan tapi pasti malah semakin massal. Kemudian muncul lagu top yang dinyanyikan kugiran musik asal Bandung: Tri Bimbo. Melalui nyanyian pop yang syairnya di tulis Taufiq Ismail,’Aisyah Adinda Kita’ berhasil memompa semangat para Muslimah berjilbab. Di Jogjakarta, budayawan Emha Ainun Nadjib membuat pertunjukan kolosal teater yang bertajuk ‘Lautan jilbab’. Pentas ini sukses besar. Selain tonton ribuan orang, pentas ini menyedot perhatian publik ketika ditampilkan di berbagai kota.
‘’Sebelum pentas ini orang berjilbab masih sedikit. Kami membangkitkannya. Sekarang hampir semua Muslimah terbiasa dengan jilbab. Ini luar biasa. Jilbab ada di mana-mana,’’ kenang Emha dalam sebuah perbincangan.
Nah, bila masa kini ada keributan wacana soal pelarangan celana cingkrang bahkan cadar, maka bila berpaling dalam sejarah, semua pihak tak perlu resah dan heran. Itu hal biasa dan terus berlangsung dari waktu ke waktu. Tak hanya jilbab dan celana cingkrang atau pakaian Muslim lain, dahulu juga ada soal pelarangan celana ketat ala The Beatles, Cut Bray ala Grup Rock, hingga celana jeans robek-robek ala kaum Gipsy. Maka santailah. Biasa sajalah biar sejarah yang akan mencatat apa yang nanti akan terjadi.
Meski begitu, menyadari potret sejarah akan adanya imbas buruk terhadap berbagai fenomena ‘pejortif’ itu, harapannya adalah di kemudian hari akhirnya suasana keterbelahan ini tidak memuncak pada munculnya berbagai aksi kekerasan yang brutal. Cukup tragedi 1965, pembajakan pesawat, Tragedi Tanjung Priok, Haur Koneng (kekerasan berdarah pada sebuah komunitas yang ingin melaksanakan syariat Islam di Lampung pada 1990-an) saja yang terjadi. Jangan sampai terulangi.
Sekali lagi, semoga tak muncul lagi lagu yang menyayat seperti lagu ‘An Nisa’ karya Iwan Fals yang tak pernah dirilis atau jadi album rekaman. Lagu ini berkisah soal suasana ketakutan dalam masyarakat Tanjung Priok dan suasana politik kekuasaan pada tahun 1980-an itu.
(*)
Penulis: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika