Jadi, perkara menghentikan presiden (dan wakil presiden) di tengah masa jabatannya bukanlah makar, seperti yang jadi koor andalan rezim ini. Memakzulkan presiden adalah konstitusional. Silakan baca Pasal 7a UUD 1945 kita. Persoalan persayaratan dan prosedurnya dibuat rumit-ruwet hingga nyaris mustahil, ini hal lain lagi.
Jadi, sekali lagi, berhentilah kita ikut kendang penguasa tentang radikalisme, cadar, celana dan cingkrang. Ini adalah isu murahan untuk mengalihkan fokus rakyat terhadap kegagalan penguasa di bidang ekonomi dan pemberantasan korupsi.
Kepada para ulama, habaib, kiai, dan tokoh umat, ganti tema-tema ceramah anda dengan ketidakadilan dan kezaliman penguasa yang terpampang di depan mata. Ingatkan umat bahwa uang yang dikorupsi adalah milik rakyat. Cerahkan pemahaman publik, bahwa SDA yang dirampok secara brutal oleh para pejabat publik itu milik rakyat dan warisan bagi generasi masa datang. Karenanya, semua itu harus dilawan!
Islam mengajarkan, bahwa mempertahankan harta yang dirampas adalah hak setiap individu dan suatu tindakan mulia. Mati karena mempertahankan harta dinilai sebagai mati syahid. Allah janjikan masuk surga tanpa hisab, Insya Allah.
Membaca shalawat atas Rasulullah SAW itu penting. Kita wajib melakukannya. Allah dan para malaikat pun bersahalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Berzikir kepada Allah, baik sendiri-sendiri maupun berjamaah, itu penting. Kita harus melakukannya. Memperingati Maulid Nabi itu penting, dan kita boleh melakukannya.
Tapi berjihad memberantas kezaliman dan ketidakadilan juga lebih penting. Berjuang merebut hak-hak rakyat yang dirampas itu sangat penting. Jihad menegakkan agama Allah, membebaskan penuhanan manusia atas manusia lain jauh lebih penting.
Jadi, tidak tepat lagi kita mengatakan kepada umat dan rakyat, kalau ada pejabat korupsi, biarlah itu urusan dia. Dia berdosa dan kelak akan mendapat siksa dari Allah. Begitu juga dengan jika penguasa yang zalim dan sewenang-wenang, tidak bisa lagi dengan semata-mata itu urusan privat yang bersangkutan dengan Allah. Urusan kepemimpinan, apalagi bernegara, adalah urusan publik. Kezaliman dan ketidakadilan penguasa wajib diluruskan.
Risiko? Pasti ada. Sebagai pendakwah, risiko terdekat adalah tidak diundang lagi berceramah. Jika sudah punya agenda rutin, kemungkin jadwal dicoretnya jadwal kita di masjid atau kantor tersebut.
Risiko lainnya, kita akan berhadapan dengan penguasa. Ini lebih besar dan lebih berat ketimbang risiko pertama. Sangat mungkin akan ditangkap, dipenjara, bahkan nyawanya dihilangkan. Tentu saja, kita sama sekali tidak berharap akan mengalaminya. Namun inilah risiko dakwah yang harus ditapaki setiap pelakunya. Inilah jalan dakwah para nabi, termasuk Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang mulia.
Itulah sebabnya, Rasulullah SAW bersabda, seperti di pembuka tulisan ini. “Jihad yang paling utama adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa zalim.”
Bagaimana? (end/glr)
*) Penulis: Eddy Mulyadi, Sekretaris Jenderal GNPF-Ulama