Karena selalu berpikir negatif, maka muncul distorsi kognitif. Distorsi ini memproduksi cara berpikir katastropik, yaitu memikirkan dampak buruk sesuatu kejadian, padahal kejadian itu bisa jadi sangat sederhana. Tapi, oleh orang tersebut selalu dikait-kaitkan dengan masalah lain. Misalnya: selalu menuduh setiap kejadian, pasti ada konspirasi yang saling terkait berkelindan.
Akhirnya menjadi musykil. Maka muncullah cara berpikir yang over generalization atau menggebyah-uyah peristiwa khusus, bahkan orang-orang seperti ini tidak mau menoleransi kesalahan. Selalu ingin membenarkan dirinya. Sangat egoistik. Otoritas kebenaran mutlak yang hampir menyamai Tuhan.
Makanya, mengapa pada masa pandemi Covid-19 atau pada masa-masa di mana sebagian orang merasa terancam dan was-was, selalu menyeruak cara berpikir katastropik? Bahkan, bisa jadi suatu masalah bisa diselesaikan, tapi selalu di-over-generalization. Mental seperti itu, acapkali mengekspresikan perilaku cepat marah, tidak mau tabayyun, menyebar berita hoax tanpa jelas sumbernya, merasa paling benar, gampang menyalahkan orang, dan lainnya.
Secara generik, galibnya jenis orang-orang seperti ini bermental tidak bisa menyelesaikan persoalan, kemudian ditutupi dengan perilaku cepat memarahi dan menyalahkan pihak lain. Kalau ini terus dipupuk, bisa menjadi wahana munculnya masyarakat low trust society, kata Fukuyama. Yang akhirnya, masa depan bangsa akan di kehilangan masa depan. Mental yang akan mengarak dan mengusung bangsa ke atas tiang gantungan sejarah. (end)
(Penulis: Mukhaer Pakkanna, Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta)