Eramuslim.com – SELAMA dua bulan terakhir, saya mulai “doyan” mem-browsing beberapa riset dan artikel tentang kesehatan masyarakat, terutama berkaitan epidemiologi. Kemudian saya baru mafhum, bahwa tahapan wabah penyakit menular itu, ada yang disebut epidemik, pandemik, dan endemik.
Tentu, tahapan epidemik terkait dengan penularan virus yang terbatas di satu lingkungan atau skala negara, kendati acap penyakit menularnya menyebar dengan pola instant skala masif.
Kemudian, tahapan pandemik, penyakit yang menyebar ke beberapa negara lain dan memengaruhi sejumlah besar orang di seluruh dunia. Salah satu indikatornya, terjadi increasing the curve yang melangit.
Selanjutnya, ada tahapan endemik dikaitkan dengan jumlah penyakit yang ada di dalam suatu komunitas atau kehadirannya bersifat permanen (bahkan ko-eksistensi dengan kehidupan kita sehari-hari). Tapi, bukan berarti telah terjadi flatening the curve.
Saya merekam pelbagai peristiwa dalam empat bulan terakhir. Hingga akhir Februari 2020, wabah Covid-19 berada dalam etafe epidemik. Kemudian, sejak awal Maret hingga akhir Mei 2020, wabah ini mamasuki masa pandemik, dan berikutnya kembali lagi menjadi endemik (mulai konsisten).
Endemik dimulai sejak Presiden Jokowi mendeklarasikan untuk melonggarkan PSBB (awal Juni 2020), dan melontarkan istilah “berdamai” dengan pandemik Corona-19. Itu artinya, pemerintah secara imperatif, meminta masyarakat ko-eksistensi atau hidup bersama dengan wabah, seperti juga hidup bersama dengan wabah, virus, dan penyakit menular lainnya. Era di mana bakal terjadi survival of the fitest.
Pada Jumat lalu, 19 Juni 2020, saya menyimak laporan First published: 19 June 2020, sebuah artikel yang ditulis tim ahli kesehatan masyarakat. Mereka menulis di Journal of Alzheimer’s and Dementia, (https://doi.org/10.1002/alz.12120), yang dilansir University College London (UCL).
Dalam masa pandemik ini, tulis artikel itu, dengan mengonfirmasi data time series, justru yang muncul masif adanya wabah pikiran negatif (negative thinking). Pikiran negatif ini timbul di masa pandemik, karena adanya kecemasan, was-was, terancam, teralienasi, dan kehilangan rasa aman terhadap masa depan (insecurity).
Maka, pikiran negatif yang berulang atau terus menerus pasti akan memantiik risiko alzheimer.
Penyakit alzheimer, penyakit yang acap menjadi pemicu penyakit demensia. Kerapkali, demensia disamakan dengan pikun. Padahal, secara generik, demensia bukan saja penyakit atau perilaku sering lupa atau kehilangan memori, melainkan juga sulit berpikir, memecahkan masalah, mengambil keputusan, bahkan bertutur kata acap ngelantur, asal bunyi tanpa data alias Omdo.
Alzheimer, merupakan penyakit utama melatari demensia. Hal ini terjadi karena ada perubahan zat kimia dan struktur otak hingga menyebabkan kerusakan sel otak dan mengganggu pengiriman pesan ke otak.