Ada kabar mengejutkan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Lembaga penyelenggara Pemilu itu menyatakan akan memangkas jumlah TPS pada Pilpres 8 Juli mendatang sebanyak 69 ribu TPS. Dengan pemangkasan tersebut jumlah TPS menjadi hanya 450 ribu.
Persoalan timbul karena pemangkasan jumlah TPS itu yang disebut-sebut karena alasan administratif perundang-undangan terkesan mengada-ada. Terlebih di mata kontestan Pilpres akibat pemangkasan jumlah TPS itu disinyalir akan mengaburkan DPT ganda.
Ya, persoalan DPT memang masih menyisakan misteri dalam Pilpres mendatang. Pasalnya, KPU yang diminta memperbaiki DPT dengan memasukkan nama-nama para pemilih yang dalam Pemilu Legislatif tidak tercantum, ternyata belum bekerja optimal. Di sana-sini masih ada keluhan masyarakat yang namanya belum tercantum dalam DPT.
Belum lagi kenyataan, berdasarkan hasil pemantauan tim pengawas capres-cawapres maupun dari laporan Bawaslu yang menyebutkan masih banyak pemilih ganda dan pemilih fiktif dalam DPT Pilpres. Toh, KPU, sejauh ini tetap bergeming dengan sikapnya mengesahkan DPT Pilpres yang notabene tetap amburadul.
Sejumlah elemen masyarakat mempertanyakan niat baik KPU sebagai penyelenggara Pemilu 2009 yang sudah tercoreng akibat buruknya kualitas DPT selama Pilleg. Diketahui ada 29,1 persen atau lebih 49,67 juta golput dalam Pilleg, 9 April lalu. Belum lagi ada 10,21 persen suara tidak sah atau sekitar 17,48 juta pemilih.
Meski ada penggelembungan suara pemilih mencapai 171,26 juta dalam DPT, hanya 60,78 persen diantaranya yang merupakan suara sah. Karenanya wajar, jika hasil (desain) DPT seperti itu membuahkan terpangkasnya perolehan suara parpol-parpol, terkecuali Partai Demokrat, yang melesat memperoleh lebih 20 persen suara dan mengantungi lebih 26 persen kursi di DPR.
Tentu hasil Pemilu Legislatif lalu mengecewakan banyak pihak, dan tudingan mengarah ke KPU. Sebab, sebelum persoalan dugaan rekayasa data pemilih terkuak, KPU telah diperingatkan tentang kelemahan dan kekurangan DPT Pilleg. Namun KPU tak menggubris semua protes yang ada, dengan alasan tidak ada waktu.
Kisruh DPT pertamakali terungkap pada pelaksanaan Pilkada di Jawa Timur yang menyebabkan dicopotnya Kapolda Jatim. Terbongkarnya kasus ini menyebabkan spekulasi telah terjadi kecurangan sistematis dalam Pilkada. Namun, faktanya, spekulasi itu justru berlanjut dalam Pilleg.
Kini persoalan kisruh DPT diangkat DPR melalui proses Hak Angket. Hampir semua fraksi-fraksi di DPR menyetujui kecuali Demokrat dan PKS. Bahkan fraksi-fraksi yang menjadi peserta koalisi Demokrat dalam Pilpres mendatang seperti PAN, PKB dan PPP ikut menyetujui Hak Angket.
Tidak ada bantahan resmi dari Demokrat terkait Hak Angket yang ditujukan ke pemerintah SBY. Demokrat memang diuntungkan dari kisruh Pilleg lalu. Fraksi yang menjadi kendaraan politik SBY ini hanya kebakaran jenggot melihat proses Angket telah bergulir.
Kini bersamaan dengan bergulirnya proses Angket DPR, kinerja KPU kembali disorot. Ulah KPU yang lagi-lagi mengecewakan banyak pihak memang menggemaskan dan sulit dimengerti. Dari seluruh provinsi, ada 15 provinsi yang validitas DPT-nya dipertanyakan. Juga soal tambahan yang hanya 5 juta pemilih dari lebih 40 juta pemilih yang belum terdaftar.
Tapi yang lebih sulit dimengerti lagi adalah sikap pemerintah SBY sebagai “tuan rumah” penyelenggaraan Pemilu. Pemerintah, termasuk Departemen Dalam Negeri terlihat defensif membantah terlibat dalam DPT. Padahal data DPT diperoleh dari data DP4 milik Depdagri.
Tidak juga ada upaya sungguh-sungguh pemerintah mendengarkan keluhan masyarakat yang ingin validitas DPT benar-benar akurat dan dapat dipercaya. Tak ada perhatian serius pemerintah untuk memperbaiki kualitas DPT, meski semua perangkat riset ada pada pemerintah.
Sikap pemerintah seperti “setali tiga uang” dengan KPU, cuek bebek. Dan, seperti telah diduga: menyalahkan rakyat pemilih di Indonesia yang katanya tidak proaktif mengecek namanya di dalam daftar pemilih sementara (DPS). Sebuah sikap yang absurd di tengah kecenderungan apatisme masyarakat pemilih, ditambah tingkat kesadaran politik dan pendidikan mayoritas pemilih yang rendah.
Permainan DPT jelas menjadikan kontes Pemilu sulit diprediksi akal sehat. Tidak berlaku asas Jurdil yang normal, karena kondisi Pemilu kali ini benar-benar sulit diantisipasi. ”Tidak ada yang bisa menang melawan kecurangan terstruktur,” kata seorang capres kontestan Pilpres dengan nada putus asa. (Amwido/berbagai sumber)