Pudarnya Pengaruh Kekuasaan SBY

Susilo Bambang Yudhoyono

Kenyataannya tidak semua partai politik yang sudah diikat dengan rantai ‘koalisi’, mereka memilih tunduk, mau mengamini ‘bangkai gajah’ Bank Century, yang sudah menelan uang Rp 6,7 triliun, sebagai sesuatu yang halal. Hal ini terbukti di Pansus Century, yang mayoritas partai-partai politik yang menjadi anggota koalisi pemerintah, bahwa mereka tetap menyatakan kasus Bank Century berbau pidana.

Ancaman dari Sekjen Partai Demokrat, Amir Syamsuddin, yang sudah berulang-ulang menyayikan lagu ‘reshullfe’ (pergantian menteri), tak dapat mempengaruhi partai-partai politik, agar tidak mengatakan yang sebenarnya kasus Bank Century. Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakri, yang sudah diungkit-ungkit sebagai pengemplang pajak, tak mau mengubah sikapnya terhadap kasus Bank Century. Partai Golkar tetap memilih bersikap, kasus Bank Century, sebagai kesalahan yang dapat mengarah pada dugaan tindak pidana.

Sementara itu, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishak, menegaskan komitmen koalisi tidak perlu dianggap sebagai sebuah masalah. Koalisi bukanlah cek kosong, karena dibangun diatas komitmen serta kontrak politik. Salah satu komitmen koalisi partai pendukung pemerintahan adalah mendorong terjuwudnya pemerintahan bersih dan pemerintahan yang baik (good governance). Koalisi tidak dibangun untuk menutupi masalah-masalah yang terindikasi mengganggu terciptanya pemerintahan yang bersih dan baik.

Oleh karena itu, terkait dengan wacana perombakan (reshuffle) kabinet seiring kasus Century, Luthfi menengaskan, hal itu merupakan hak prerogatif presiden, bukan urusan partai politik. PKS berpandangan, isu perombakan kabinet itu bisa bentuk ancaman dari Partai Demokrat pada partai koalisi.

Dibagian lain, menurut Sebastian Salang dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, mengingatkan , sikap fraksi dalam Pansus hak angket masih mungkin berubah. Kemungkinan ini terutama terjadi pada fraksi anggota koalisi pemerintah, yaitu Fraksi Partai Golkar, FPKS, FPAN, dan FPPP. “Perubahan akan terjadi jika sikap yang sekarang diambil ternyata tidak menguntungkan. Bahkan, partai seperti Golkar dan PKS masih mungkin berubah arah, jika mereka berhasil mencapai kesepakatan dengan pemerintah. Semua masih bergantung pasar politik yang berkembang, hingga akhir kerja Pansus pada 4 Maret 2010”, ujar Salang.

Selain itu, masih menurut Salang, langkah-langkah yang diambil partai-partai politik yang diambil dalam Pansus Century, tujuannya melakukan investasi politik pada Pemilu 2014, dan citra DPR secara umum. Apalagi, sebagian besar proses di Pansus dilakukan secara terbuka dan disiarkan oleh berbagai media massa. “Masyarakat memang mudah melupakan sikap partai di masa lalu. Namun, masyarakat juga mudah diingatkan akan dosa partai”, tambah Sebastian Salang.

Pakar Komunikasi Politik UI, Effendi Gazali, menilai, adanya sikap partai koalisi pemerintah, selain Demokrat dan PKB, dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, bagi pihak yang tidak percaya pada Pansus, upaya itu adalah untuk menaikkan posisi tawar. “Kedua, sikap sebagian anggota koalisi itu dapat dilihat sebagai jawaban komunikasi politik Presiden SBY, yang belakangan cenderung menyerang seperti lewat wacana perombakan kabinet (reshuffle) dan pengusutan pengemplang pajak. Berbagai pernyataan itu membuat partai hanya punya satu sikap,yaitu melawan. Caranya dengan membuat pandangan yang sama dengan partai yagn tidak menjadi anggota koalisi”, ucap Effendi. (Kompas,9/2/2010)

Masih pandangan yang sama, Eep Saufollah Fatah, yang menjadi CEO Pol Mark Indonesia, menilai Presiden SBY melakukan lima kekeliruan, pertama, keliru pemosisian. Belakangan, SBY terlampau kerap memosisikan diri sebagai korban keadaan, menjai objek penzaliman pihak lain, korban fitnah. Celakanya pemosisian ini dilakukan Presiden manakala sebagian publik mengharapkan tampilnya Presiden sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas kekeliruan kebijakan yang dibuat pemerintahannya.

Kekeliruan itupun menjadi ibu kandung dua ksan buruk tentang lembaga kepresidenan belakangan ini.Presiden dipandang senang menyelamatkan diri, lari dari tanggungjawab, dan tidak punya kemauan untuk melindungi pihak dibawah kendali kekuasaannya. Dibagian lain, Presiden SBY tampil atau menampilkan diri diri sebagai “presiden yang merana”, “lemah”, dan “menderita”. Dengan begitu terbangun persepsi publik, kepemimpinan Presiden SBY, terkesan lemah, ujar Eef.

Dan, pemandangan awal, Fraksi-Fraksi di Pansus Century, seperti menjadi ‘lonceng’ kematina pemerintahan SBY, dan dengan skor 7 Fraksi yang menyimpulkan adanya pelanggaran dan mengarah pidana, dan hanya 2 Frkasi, Partai Demokrat dan PKB, yang tetap membela kebijakan pemerintah dalam bail out Bank Century. Dengan peta politik seperti ini, peluang untuk selamat bagi pihak-pihak yang bertanggungjawab yang menggelontorkan dana bailout Rp 6,7 triliun menjadi sangat sulit.

Jika Sri Mulyani dan Boediono, nantinya oleh Pansus sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan, dan semuanya bermuara hukum, passti akan mempunyai implikasi politik bagi kedua pejabat negara itu. Apakah persoalan yang terkait dengan Sri Mulyani dan Boediono, dan hubungannya dengan Bank Century itu, hanya berhenti terhadap dua pejabat itu? Atau kasus itu akan terus merembet kepada pejabat yang lebih tinggi lagi?

Ledakan kasus Bank Century ini, semakin terasa keras, manakala mantan Watimpres, Adnan Buyung Nasution, mendesak Pansus Bank Century memanggil Presiden SBY. Pansus Bank Century DPR harus memanggil Presiden SBY untuk dimintai keterangannya. “Jangan takut sama SBY”, tegas Buyung. Pernyataan Buyung itu, disampaikan ketika berlangsung diskusi di rumah perubahan, Jakarta. (7/2/2010). “Pemanggilan ini untuk membuka tabir benar tidaknya adanya dugaan publik atas keterlibatan Presiden atas kebijakan bailout Rp 6,7 ke Bank Century”, ucap Buyung.

Ujung-ujungnya, bila Sri Mulyani dan Boediono, akibat keputusan politik Pansus DPR, keduanya harus meninggalkan posnya sebagai Menkeu dan Wapres, dan apakah persoalannya akan berhenti sampai di situ? Apakah Sri Mulyani dan Boediono rela meninggalkan posnya begitu saja, dan harus berhadapan dengan hukum?

Inilah yang membuat mimpi buruk (nightmare) bagi Presiden SBY, dan membuat tidurnya tidak nyenyak lagi, karena selalu dihadapkan pada hantu yang bernama,’Pemakzulan’. Tapi, jalan menuju pemakzulan masih panjang dan tidak mudah. (m/kmps/mdk)