PRESIDENTIAL THRESHOLD MENGEBIRI DAULAT RAKYAT

Kedua, presidential threshold mengerdilkan potensi bangsa. Negeri ini tak kekurangan calon pemimpin kompeten. Tetapi, kemunculannya digembosi aturan main yang sekaligus meminimalisir pilihan rakyat menemukan pemimpin terbaiknya. Semakin sedikit kandidat yang bertarung, akan semakin mengecilkan peluang munculnya pemimpin yang baik.

Ketiga, presidential threshold berpotensi memundurkan kesadaran dan partisipasi politik rakyat. Pembatasan calon berarti membatasi saluran politik pemilih. Peluang pemilih untuk tidak memilih alias golput menjadi tinggi karena calon terbaik menurut mereka tidak mendapat tiket kontestasi. Daulat rakyat melemah digerus daulat partai yang kian menguat.

Keempat, partai kecil cenderung tak berdaya di hadapan partai besar terkait keputusan tentang calon yang akan diusung bersama.

Political Will DPR – Presiden

Sederet persoalan di atas membuat presidential threshold seolah menjadi problem lima tahunan. Saban mendekati Pemilu, masalah ini selalu bergulir hangat. Tapi begitu minim kesadaran politik bersama untuk membenahinya.

Telah beberapa kali soal ambang batas pencalonan presiden diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, hasilnya tak memenuhi ekspektasi. MK menyatakan bahwa persoalan ambang batas adalah masalah Open Legal Policy (kebijakan hukum terbuka).

Itu berarti kewenangan pembuatan dan perubahan aturan tentang presidential threshold ada pada pembuat UU. Bila demikian maka bola selamanya mendekam di gedung DPR. Dioper ke sana-kemari, buntutnya toh kembali lagi ke Senayan.

Kini, momentum mengoreksi presidential threshold terbuka lebar. Kita tahu, wakil rakyat tengah menggodok RUU Pemilu.

Media massa mengabarkan, Partai Nasdem mengusulkan penurunan presidential threshold menjadi 15 persen dari 20 persen. Sedangkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengusulkan angka 10 persen. Permintaan yang lebih ekstrem datang dari Partai Demokrat dengan usulan 0 persen. Alasannya sangat logis, agar semua Parpol dapat mengajukan usulan calon.

Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Kebangkitan Bangsa tidak mempermasalahkan apabila ambang batas pencalonan presiden tetap sebesar 20 persen tetapi juga tidak mempersoalkan bila wacana pengurangan presidential threshold dikurangi.

Entah bagaimana dengan partai-partai besar. Situasi ini memang menguntungkan mereka. Jauh hari, pengamat politik dan pakar hukum tata negara Refly Harun telah mensinyalir, presidential threshold adalah cara jahat partai besar menghalangi peluang munculnya kandidat lain di luar dirinya.

Bila betul demikian, masa depan demokrasi agaknya suram. Biduk Indonesia selamanya akan sulit mengarungi lautan persaingan global, bila kemunculan nahkoda handal dihalang-halangi oleh syahwat politik dan kekuasaan.