PRESIDENTIAL THRESHOLD MENGEBIRI DAULAT RAKYAT

Menggugat Presidential Threshold

Hulu persoalan adalah Presidential Threshold alias ambang batas pencalonan presiden. Aturan itu mengebiri daulat rakyat. Membatasi calon-calon terbaik tampil di gelanggang.

UU No, 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menegaskan, untuk mengusung pasangan Capres-Cawapres, Parpol atau gabungan Parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional. Bagi partai yang tidak menggenapi persentase ini, jalan konstitusional satu-satunya adalah berkoalisi membentuk gabungan parpol.

Konon, alasan penerapan aturan itu adalah untuk memperkuat partai politik. Juga agar presiden dan wakil presiden terpilih punya kekuatan politik terutama di parlemen, sehingga presidential threshold memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Sebab parlemen yang kuat dikhawatirkan akan melemahkan sistem presidensial.

Sekilas masuk akal. Tapi bila dicermati, itu tak lebih akal-akalan politik semata. Konteksnya jelas bukan soal kuat atau lemahnya eksekutif versus legislatif, tetapi keseimbangan dan kesetimbangan peran. Menguatkan sistem presidensial tidak berbanding lurus dengan penguasaan eksekutif pada parlemen.

Koalisi penguasa yang tambun dan minim oposisi pada akhirnya mengundang penyalahgunaan kekuasaan. Check and balances sulit berjalan maksimal. Yang ada, dewan bisa-bisa semata menjadi tukang stempel dari kebijakan yang diusulkan pemerintah.

Kita punya banyak pengalaman yang menguatkan argumentasi itu. Sebutlah pengesahaan UU Omnibus Law Cipta Kerja usulan presiden. UU ini tentu mengingatkan kita pada proses legislasi yang dikebut dan rapat DPR jelang tengah malam. Rakyat tumpah ruah ke jalan, tetapi itu seolah tak memiliki arti.

Dibanding manfaatnya, mudharat presidential threshold lebih dominan. Pertama, meski di atas kertas bisa memunculkan tiga hingga empat pasang calon, namun tidak begitu dalam praktiknya. Buktinya, penerapan presidential threshold dalam pemilu yang lalu-lalu hanya sanggup memunculkan dua pasang calon.

Dampaknya, kita menyaksikan pembelahan politik dan polarisasi yang begitu kuat di akar rumput. Polarisasi ini bahkan tak kunjung mereda meski elit telah rekonsiliasi. Akibatnya, dengung kebencian merajalela. Dan itu masih kita rasakan hingga detik ini.