Presiden Loe bukan Presiden kita. Buat emak-emak itu mungkin Anies-lah Gubernur yang “rasa” Presiden. Penyerangan kubu si “Loe” terhadap Anies dianggap sebagai berlebihan akibatnya emak-emak itu mereaksi. Ya ke sana-sini sampai urusan korupsi atau utang luar negeri seperti tulisan “Lebih Baik Banjir Air Masih Aman, Daripada Banjir Korupsi Utang Luar Negeri”.
Menjadi pelajaran berharga bagi siapapun yang menjadi Presiden agar dapat kiranya untuk melakukan sosialisasi diri atau internalisasi yang bisa menumbuhkan rasa kebersamaan dengan rakyatnya. Apalagi menghadapi tantangan berat musibah apakah banjir atau wabah.
Keterpisahan tentu membuat diskrepansi bagi penyelesaian setiap persoalan. Yang ada bukan simpati, integrasi, atau “sehidup semati”, melainkan berlepas diri, memaki, bahkan bisa mengutuk atau menyumpahi.
Kasus Amerika bisa dilihat. Tingkat penerimaan dan kesukaan rakyat yang rendah pada Presiden Trump membuat sikap demonstratif orang membuat patung karet Donald Trump dalam berbagai bentuk, lalu patung itu diludahi, ditendang, atau dibanting banting.
Inilah wujud kekecewaan dan kebencian. Mereka seolah-olah sama dengan emak-emak militan di atas menyatakan bahwa Trump adalah “Presiden Loe”.
Memang sebenarnya tragis kalau seseorang hanya bisa menjadi “Presiden Loe” dan tidak menjadi “Presiden Kita”. Memilukan. (*end)
Penulis: M. Rizal Fadillah, Aktivis Kemanusiaan