Prabowo Makin Melenggang, Lawannya Makin Terjengkang

Maka konon bisik-bisik mengungkapkan, musnahlah cita-cita besar mereka untuk bertanya soal Khilafah di sesi tanya jawab antar kandidat. Gong yang digadang-gadang akan dimainkan di puncak acara agar terjadi “ejakulasi” masal itu, berhasil dipukul loyo bahkan sebelum permainan dimulai. Sehingga pada sesi tanya jawab antar kandidat terjadilah “Habis Khilafah, Terbitlah Mal Pelayanan Publik”. Sebuah pertanyaan antar kandidat yang bisa disebut ecek-ecek jika dibandingkan dengan menggunungnya berbagai persoalan besar di republik ini.

Bahkan terjadi “Habis Khilafah, Terbitlah Rakhine State”. Untuk apa seorang Presiden menanyakan Rakhine State dan membanggakan kunjungan satu kalinya kesana, jika berkali-kali ia tidak berani datang ke Sidang Umum PBB yang ditengarai akibat persoalan bahasa? Jika mengunjungi negara sekecil Myanmar, Jokowi bisa selalu dikelilingi puluhan pembantunya setiap saat, maka di SU PBB ia harus sanggup tampil mandiri sebagaimana pemimpin2 negara lainnya. Itulah persoalannya, dan syukur kepada Tuhan bahwa Prabowo berbaik hati tidak balik bertanya tentang hal itu.

Skenario Yang Patah

Akibat story board yang berubah tanpa disangka-sangka, maka Debatpun berakhir anti klimaks. Berkali-kali pertanyaan dan pernyataan Prabowo tidak mampu diklarifikasi Jokowi. Soal klaim kebanggannya bahwa Indonesia berhasil miliki saham Freeport 51%, padahal menurut Prabowo pihak Amerika secara resmi menyatakan miliki 82% saham Freeport, mangkir dijawab oleh Jokowi dan memilih memberi pernyataan lain. Jokowi pikir strategi “waton mangap”nya itu akan manjur seperti yang sudah-sudah, namun tak dinyana kali ini Prabowo mengejar dan mengungkap kenyataan sebenarnya.

Begitu juga kengawuran Jokowi yang menyatakan bahwa KPK pada tahun 1998 sudah mengeluarkan indeks persepsi korupsi, padahal KPK baru didirikan pada tahun 2002.

Dan yang paling fatal adalah pernyataan Jokowi soal pertahanan negara. Ia mengatakan: “Saya masih sangat percaya pada TNI kita.

Saya masih meyakini dari informasi intelijen strategis yg masuk kepada saya, mengatakan bahwa 20 tahun ke depan invasi dari negara lain ke negara kita dapat dikatakan tidak ada. Dalam kurun waktu 20 tahun!”

Dengan panjang lebar Prabowo pun menjelaskan kepada Jokowi bahwa waktu masih berpangkat letnan 2 pada tahun 1974, jendral atasannya mengatakan bahwa tidak akan ada perang hingga 20 tahun ke depan. Tapi tiba-tiba 1 tahun kemudian pada tahun 1975, ia dikirim untuk berperang ke Timor-Timur, “Pak, yang memberi briefing kpd bapak… Aduh.. aduh.. kalau menghendaki damai, siap utk perang. Si vis pacem para bellum, artinya kalau menghendaki damai maka harus siap untuk berperang. Bagaimana kok ada briefing ke presiden bahwa 20 tahun tidak akan ada invasi? Kalo saya presidennnya ya saya ganti yang ngasih briefing itu. Ini penyakit bangsa Indonesia, kok berani laporan ke Pangti seperti itu..!”

Dan ternyata berdasarkan salah satu jejak digital yang tertera,

https://bisnis.tempo.co/read/1190198/luhut-dalam-20-tahun-indonesia-tak-akan-dijajah-asing, maka patut diduga pembisik Jokowi yang blunder itu adalah Luhut. Jendral belakang meja yang pengalaman di lapangannya minim jika dibandingkan Prabowo.

Lebih lucu lagi ketika di suatu kesempatan Jokowi sempat menanggapi pernyataan Prabowo dengan retorika: “Periode 1 adalah pembangunan Infrastruktur, periode 2 adalah pembangunan SDM, dan periode 3 pembangunan Pertahanan.” Di moment of truth itu, jangan heran jika para penonton nobar debatpun saling bersahutan: “Ya ampun pak.. paak.. memang bapak mau berapa periode?”

Closing Statement

Akibat berbagai tragedi wacana yang tak diyana sepanjang debat, maka pernyataan penutup dari Jokowi bagaikan Final Countdown. Mental itu telah jatuh. Hitung mundur itu telah selesai, dan tiba waktunya berpamitan pulang. Ia lalu campakkan hapalan statement penutup yang mestinya bisa mengurangi poin keterpurukan.

Sambil mengibarkan bendera putih, Jokowi berharap sepeda yang dikayuh dalam perjalanan tidak putus rantainya, seperti tidak putusnya perkawanan ia dengan Prabowo. Jika ingin diartikan nakal dalam bahasa politik, bisa dimaknakan bahwa jika memang harus semuanya usai, maka Jokowi ingin berakhir indah. Ia seolah menitipkan diri dan keluarganya pasca jabatan: “Ojo diotak-atik yo pak, saya dan anda adalah kawan.”[tsc]

Penulis: Agi Betha (Wartawan Senior)


ERAMUSLIM DIGEST EDISI 8, SATANIC FINANCE, PENJAJAHAN BERBASIS KEUANGAN, BEST SELLER BUKU PEKAN INI…, PESAN SILAHKAN WA/SMS KE 085811922988.

INI LINK NYA, silahkan di klik : https://m.eramuslim.com/resensi-buku/the-satanic-finance-eramuslim-digest-edisi-8.htm