Prabowo Makin Melenggang, Lawannya Makin Terjengkang

Tapi kedua pakar intelijen bangkotan itu lupa tentang bagaimana cara membungkus aksi dengan rapi. Cara kedua senior Prabowo itu terlalu vulgar, tak ada sexi-sexinya sama sekali. Sadis dan kasar. Mungkin karena faktor sepuh dan hilangnya rasa kemanusiawian yang sudah mendominasi.

Bayangkan, diantara senggang waktu debat ketiga dan keempat, jendral Luhut melancarkan tuduhan bahwa ada gerakan ingin mengganti ideologi Pancasila. Jelas yang dituding adalah lawan politik diluar koalisinya. Demi menyukseskan ambisi, ia juga mengajak purnawirawan Akabri angkatan 70 untuk bertemu. Meski gayung Luhut itu tak bersambut, karena sampai saat ini belum ada kabar tentang adanya teman-teman yang menerima ajakannya. Padahal dari peristiwa yang sudah-sudah, jika Prabowo yang menebar undangan, maka ratusan jendral dari berbagai penjuru negeri berbondong-bondong dengan senang hati selalu datang.

Stigmaisasi Khilafah Itu Mati Muda

Sementara itu klaim dari jendral Hendro bahkan lebih tamak lagi. Terlihat betul kegusarannya menghadapi masa-masa akhir kekuasaan tanpa daya. Iapun berusaha menembakkan racun terakhir yaitu bahwa ideologi Pancasila berhadapan dengan ideologi khilafah di Pemilu 2019.

Selain dilontarkan lewat media mainstream pro petahana, stigmaisasi dashyat dari Hendro juga meluas lewat rekaman wawancara berdurasi lebih dari 5 menit.  “Pemilu kali ini yang berhadap-hadapan bukan saja hanya subjeknya, kubu dari Pak Jokowi dan kubu dari Pak Prabowo. Bahwa yang berhadap-hadapan adalah ideologi Pancasila berhadapan dengan ideologi khilafah. Rakyat harus jelas mengerti. Bahwa dia harus memilih yang bisa membikin dia selamat.”

Tapi tuduhan bengis Hendro itu langsung menemui ajal, akibat dibunuh oleh jejak digital. Warga net ramai-ramai membocorkan bahwa sang mantan kepala BIN itu pada majalah Sabili No. 19/Th XVI, 9/4/2009, pernah membuat pernyataan terbuka. Dari kutipan yang beredar luas, Jendral yang kumisnya dicat hitam melintang itu pernah mengatakan: “Semestinya setelah thesis Liberal-Kapitalisme gagal mensejahterkan dunia, Kekhalifahan seharusnya muncul sebagai penggantinya. Karenanya, Islam perlu menjawab tantangan globalisasi dengan membangun Kekhalifahan Universal. Hanya system ini yang bisa mengatur dan mensejahterkan dunia, karena tatanan Sekuler-Kapitalisme telah gagal”. Pernyataan Hendropriyono itu juga dikutip ulang oleh media Islam pada tahun-tahun sesudahnya.

Tak heran, stigma dari Hendro yang bernuansa pesanan itupun dijawab tegas oleh rakyat. Mereka lebih memilih percaya kepada kalimat Jendral Pro Rakyat ketimbang tuduhan keji dari jendral yang kumisnya dicat hitam melintang. Maka “tamparan” jawaban bertubi-tubipun melayang ke muka Hendro. Bukan oleh Prabowo, tapi berasal dari tangan rakyat yang membelanya.

Tekad dan Pernyataan Rakyat

Rakyat menyatakan ingin kedaulatan dan keadilan dikembalikan ke pangkuan mayoritas rakyat, bukan diatur oleh segelintir orang yang menjadi tameng taipan. Pernyataan keras itu nampak dari bagaimana tumpah ruahnya rakyat di setiap Rapat Terbuka yang dilakukan Prabowo.  Makin distigma, makin moncer nama Prabowo. Kian direndahkan, kian membubung tak terkendali popularitas Prabowo. Rakyat menunggu waktu dimana semua Fitnah itu kembali kepada tuannya.

Sambil menanti saat itu tiba, ramai-ramai rakyat mengejek: “Bagaimana mungkin Prabowo yang dituduh fasis, berstatus kafir, tidak pernah sholat Jumat, tapi sekaligus mendukung islam Radikal, dan berideologikan Khilafah? Fitnahmu itu tuman..!!”

Pertanyaan Soal Khilafah Ditumbangkan 

Dan begitulah. Prolog-prolog brutal menjelang debat keempat itu dijawab Prabowo di sesi pertama soal ideologi, dengan langsung mempertanyakan kepada Jokowi soal Fitnah Khilafah kepada dirinya. Prabowo langsung membungkus itu barang!