Oleh : Ahmad Khozinudin – Sastrawan Politik
Secara hukum dan fakta (De Jure dan De Facto), sampai saat ini belum ada Paslon yang menang dan yang kalah, karena pengumuman hasil Pemilu belum ditetapkan oleh KPU. Rencananya, KPU baru akan mengumumkan hasil Pemilu 2024 pada tanggal 20 Maret 2024.
Anehnya, kubu 02 Prabowo Gibran sudah kegirangan, sibuk melakukan selebrasi Kemenhan. Bahkan, sesaat setelah rilis quick count, paslon 02 secara heroik mengumumkan kemenangan dan seolah berpidato sebagai pemenang.
Jelas, ini adalah pidato prematur. Konfirmasi betapa ngebetnya Prabowo berkuasa (baca: jadi Presiden).
Sebenarnya, sudah sejak 2014 Prabowo ngebet berkuasa. Karena saat 2009, Prabowo sudah maju Pilpres menjadi Cawapres mendampingi Megawati. Mega Pro, nama akronim Paslonnya.
Puncak ngebet dan kebelet kekuasaan Prabowo terjadi pada Pilpres 2019. Saat itu, sujud syukur kemenangan sudah dilakukan. Tapi, nampaknya Prabowo baru menyadari, faktor dukungan kekuasaan adalah syarat utama kemenangan, bukan suara rakyat. Akhirnya, Prabowo kalah dan legowo (baca: untung beliung) merapat menjadi Menhan Jokowi.
Hari ini, bukan tanpa alasan Prabowo deklarasi kemenangan walau belum ada pengumuman KPU. Karena Prabowo meyakini, telah mengantongi syarat kemenangan. Syarat kemenangan itu bukan suara rakyat, melainkan dukungan kekuasaan.
Ya, Prabowo sudah tenang karena ‘Gibran sudah ada disini’. Adanya Gibran di kubu Prabowo, adalah konfirmasi syarat kemenangan telah dikantongi Prabowo.
Tapi, sepandai-pandainya tupai melompat, toh akan jatuh ke tanah juga. Begitulah, rekayasa dukungan opini kemenangan itu justru dibongkar oleh pendukung opini kemenangan.
Adalah media kompas, yang mengumumkan hasil quick count (hitung cepat), yang memenangkan Prabowo Gibran dengan suara kisaran 58 %. Publik menjadi tersihir, seolah kompas lembaga kredibel, berbeda dengan Deny JA atau lembaganya Qodari.
Tapi, bedak pencitraan kemenangan Prabowo Gibran yang dibuat kompas, justru dihujani badai opini survei oleh kompas sendiri. Kompas, mendelegitimasi hasil survei kemenangan Prabowo dengan survei dukungan hak angket.
Belum lama ini, Survei Litbang Kompas melaporkan 62,2% responden setuju hak angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan pilpres. Yang tidak setuju hak angket 37,8% (digenapkan menjadi 38%). Hasil ini, membuat klaim Kemenangan Prabowo melalui hitung cepat menjadi tidak kredibel. Alasannya sebagai berikut:
*Pertama,* secara logika orang yang mendukung hak angket adalah orang yang tidak setuju kemenangan Prabowo. Sebab, yang sudah memilih Prabowo dan mengganggap Prabowo menang pastilah tidak setuju hak angket digulirkan.
Terbukti, seluruh parpol pendukung Prabowo (Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PBB, Gelora), menolak digulirkannya gak angket. Seluruh timses dan pendukung 02 juga menolak hak angket, dengan berbagai dalih.
*Kedua,* secara logika orang yang mendukung hak angket adalah orang yang tidak memilih Prabowo, bisa memilih Anis atau Ganjar, dan angkanya mencapai 62,2%. Itu artinya, mayoritas responden tidak memilih Prabowo Gibran.
*Ketiga,* secara logika orang yang tidak setuju hak angket adalah orang yang memilih Prabowo, angkanya hanya dikisaran 37,8% (digenapkan menjadi 38%). Itu artinya, angka perolehan suara Prabowo Gibran bukan angka pemenang Pilpres, yang menang bisa Anies atau Ganjar. Perolehan suara Prabowo hanya di ranking 2 dan mustahil ranking pertama (pemenang).
*Keempat,* kalaupun suara 62,2% itu dibagi dua, 31 % memilih Anies dan 31 % memilih Ganjar, tetap saja kemenangan Prabowo hanya dikisaran 37,8% (digenapkan menjadi 38%). Artinya, Pilpres dua putaran bukan satu putaran karena Kemenangan Prabowo belum melebihi nilai 50 % lebih sebagaimana disyaratkan UU, agar menang satu putaran.
Rilis survei Kompas ini diduga mengandung kedustaan dan kuat dugaan survei kemenangan Pilpres untuk kemenangan Prabowo itu dusta dan yang riil (jujur) adalah survei dukungan hak angket. Itu artinya, deklarasi Kemenangan Prabowo prematur yang dilatarbelakangi oleh faktor kebelet berkuasa. [faktakini]