by M Rizal Fadillah
Dua Putusan peradilan etik yaitu Putusan MKMK No 2/MKMK/L/11/2023 dan Putusan DKPP No 135-136-137-141 PKE-DKPP/XII/2023 semestinya sudah dapat menganulir pasangan Prabowo Gibran. Pasangan ini dilahirkan dari proses yang tidak mulus atau bermasalah. Hasil dari perselingkuhan politik dan hukum. Karenanya wajar jika Prabowo Gibran ditetapkan publik sebagai pasangan haram. Gibran menjadi anak haram Konstitusi sekaligus anak haram Demokrasi.
Tentu asal muasal kekacauan hingga lolosnya Gibran menjadi Cawapres adalah Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023. Putusan tersebut berakibat sanksi administratif kepada Ketua MK Anwar Usman. Ketua MK digantikan oleh Suhartoyo. Anwar Usman menggugat penggantian dirinya ke PTUN. Ia ingin kembali menjabat sebagai Ketua. Mungkin persiapan untuk sukses Gibran esok jika MK harus mengadili kasus Pilpres “Tenang, paman sudah disini”.
Pelanggaran etik ternyata tidak mampu menembus hukum, padahal etika itu menjadi dasar bagi hukum. Betapa bahaya jika terjadi pemisahan tajam antara norma hukum dengan norma kesusilaan, kesopanan dan norma ketuhanan. Hukum tanpa moral dan etik menjadi aturan kering dan tidak bermakna bahkan dapat berkontradiksi.
KPU yang menerima pendaftaran pasangan Prabowo Gibran, padahal aturan persyaratan belum diubah menjadi PKPU baru, jelas-jelas melanggar hukum. Penyelamatan dilakukan dengan memfokus pada etika. DKPP berdalih hanya kompeten untuk berada di ruang etik. Akibatnya lucu, Ketua KPU dinyatakan melanggar etik dalam konteks Putusan akan tetapi Putusan tetap sah. Ini adalah paradoks hukum dalam politik.
Apapun kekacauan dalam hukum politik namun publik faktanya telah disuguhi tontonan nyata tentang perselingkuhan hukum. Prabowo yang menggaet anak haram sebagai pasangan maka berkonsekuensi menjadi pasangan yang haram pula.
Sebagai terma agama, keharaman itu didapat dari tiga jalan yaitu :
Pertama “dzati” haram karena dzat. Misal seorang muslim dilarang makan babi, maka faktor penyebab adalah babi yang memang secara dzati ditetapkan sebagai haram.
Kedua, “sifati” dzat halal, namun karena sifat maka menjadi haram. Contoh alkohol sebagai dzat halal tetapi karena sifatnya memabukkan, maka hukumnya menjadi haram.
Ketiga, “kaifiyati” yaitu secara dzat dan sifat halal tetapi cara mendapatkannya tidak halal maka jatuhlah haram. Uang itu halal secara dzat dan sifat akan tetapi karena mendapatkannya dengan mencuri, menipu, atau korupsi maka itu menjadi haram.
Prabowo itu halal begitu juga dengan Gibran, akan tetapi proses status dan pemasangannya tidak halal, maka jatuhlah haram.
Prabowo Gibran adalah pasangan haram. Bagi muslim yang faham agama atau syari’at tentu tidak akan “memakan” barang haram. Prabowo Gibran bukan pilihan.
Putusan MKMK dan DKPP membuat masa depan Prabowo Gibran suram. Sulit untuk menang Pilpres dalam kompetisi sehat. Hanya curang yang membuka peluang. Akan tetapi produk kecurangan dipastikan akan menjadi musuh bagi rakyat semesta.
Sesungguhnya Jokowi, Prabowo dan Gibran kini berada dalam posisi yang sulit. Meskipun dana melimpah, akan tetapi hal itu tidak menjadi jaminan bagi kesuksesan apalagi kebahagiaan.
Banyak yang berteriak “curang berarti perang”.
Suasana saat ini berbeda dengan Pilpres 2019.
Semangat perlawanan jauh lebih tinggi. Rakyat akan hancurkan segala bentuk rekayasa kecurangan. MK bukan opsi sebab MK sudah berubah fungsi. Rakyat tidak percaya lagi pada MK yang tidak menjadi Mahkamah Konstitusi melainkan Mahkamah Konspirasi.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 7 Februari 2024