Jadi apakah kita mempercayai manuver politik para jenderal itu, atau kita melihat rekam jejaknya yang begitu luar biasa dalam gerakan civil society dan pembangunan demokrasi Indonesia?
Berkorban Untuk Melindungi
Sebagai bagian dari keluarga besar Orde Baru tentu Prabowo memiliki naluri untuk melindungi keluarga besarnya. Pernikahannya dengan Ibu Titiek menjadikan ia keluarga besar Soeharto. Cinta dan takdir itu tidak mungkin disalahkan, tetapi oleh musuh politik pernikahan itu di anggap sebagai aib.
Memang sangat keji dan tidak bisa diterima. Seorang menjadi suami istri telah dipertemukan oleh Allah, dikutuk oleh para pembenci yang iri terhadapnya. Sehingga aktivis corong sakrasme berdalih untuk membenarkan tuduhannya. Kalau kita balik bertanya kepada mereka, apakah mereka menikah dengan istri mereka adalah Aib? Ini contoh fitnah murahan.
Perceraiannya, menjadi argumentasi yang paling gila dari segerombolan “aktivis” yang katanya berjuang untuk demokrasi. Urusan pribadi orang lain, yang mereka tidak tahu, mereka ikut campur. Seakan, merekalah yang mempertanggungjawabkan segala apa yang dialami oleh Prabowo.
Tapi apakah seorang negarawan marah dan berontak? Tidak. Beliau bersabar dan tidak pernah membicarakan apa yang mereka bicarakan. Beliau berbicara tentang bangsa, tetapi mereka terus membicarakan diri Prabowo.
Hal itu pula bisa dilihat oleh mata publik bagaimana Prabowo menghadapi sidang Mahkamah Kehormatan Militer ketika ia dituduh menjadi dalang penculikan aktivis 98.
Padahal pada waktu itu tidak mungkin seorang Panglima ABRI Wiranto tidak mengetahui perintah 28 aktivis yang radikal untuk diamankan oleh ABRI. Sungguh sangat dangkal kalau hanya Prabowo yang dituduhkan.
Apa yang dituduhkan oleh Wiranto bahwa penangkapan aktivis itu atas inisiatif pribadi adalah mencuci tangan dari keterlibatannya. Ketika sidang mahkamah kehormatan itu, Prabowo dilematis. Di satu sisi Soeharto adalah mertuanya, kakek dari anaknya, jadi dia harus melindungi Soeharto.
Itulah yang akhirnya membuat ia mengatakan, bahwa dia pasang badan dan dia mengakui, sebagai wujud kecintaan terhadap institusi yang telah melahirkan dan membesarkannya, akan tetapi beberapa jenderal seperti Benny Moerdani, Wiranto, Agung Gumelar, dan lainnya semua merasa suci.