Pada saat ini, PM Lee berada di persimpangan yang “complicated” (ruwet) dalam hal bagaimana dia harus menunjukkan preferensinya. Apakah masih ke Jokowi atau harus sudah beralih ke Prabowo? Siapakan yang paling kuat didukung publik Indonesia? Siapakah yang memiliki peluang besar memenangi pilpres?
PM Lee tentu saja tidak ingin terlihat menyebelahi salah satu capres. Agar tidak menyalahi norma diplomatik. Tetapi, dia juga tidak ingin “wrong footed” (salah langkah). Khawatir salah langkah di tengah situasi yang sangat “fluid” di pentas politik Indonesia saat ini. Lugasnya, takut salah pilih.
Dengan perangkat intelijennya yang pasti canggih dan “well-equipped”, tidak mungkin Lee mengabaikan teriakan suara rakyat Indonesia yang menghendaki perubahan penghuni Istana. Dan juga tak mungkin PM tidak tahu tentang gerak-maju Prabowo yang sekarang “unstoppable”. Tak terbendung.
Itulah sebabnya PM Lee tidak memperlakukan Prabowo hanya sebagai “leader of the opposition” (pemimpin oposisi), melainkan dia memposisikan capres 02 ini seolah sebagai “president designate” atau “president elect”. (Keduanya bermakna ‘presiden terpilih’). Ini terlihat dari ‘isyarat’ untuk membangun kerja sama yang kuat antara Singapura dan Indonesia di tangan PS.
PM Lee seakan ingin mengatakan kepada Prabowo bahwa “you’re the next president” (ente presiden berikutnya). Ini semua ditunjukkan oleh PM Lee bukan tanpa dasar.
Pertama, Lee melihat bahwa kampanye petahanan yang didukung oleh 90 persen media mainstream dan semua perangkat kekuasaan, tetap tidak bisa membendung trend naik elaktabilitas Prabowo. PM bisa melihat dengan jelas bahwa PS adalah pilihan natural rakyat. Bukan pilihan rekayasa segala cara. Bukan pula pilihan yang dipaksakan dengan macam-macam “dirty tricks”.