OLEH: TONY ROSYID
pengamat politik dan pemerhati bangsa
MARI ingat kembali kampanye Pilpres 2019. Capresnya Joko Widodo versus Prabowo Subianto. Saat itu, debat kedua pihak ini sangat sengit. Terutama antara PDIP dengan Gerindra sebagai partai pendukung utama.
PDIP mengangkat Jokowi dan promosi habis-habisan untuk capresnya. Jokowi didesain menjadi manusia sempurna. Bahkan “setengah dewa.” Tidak ada cacat, apalagi kesalahan. Semua serba oke banget.
Di sisi lain, para kader PDIP juga habis-habisan menyerang Prabowo. Rival politik Jokowi. PDIP menelanjangi Prabowo, seolah tidak ada sedikitpun kelebihan yang ada pada Prabowo. Terutama menyangkut kasus HAM 1997-1998. Anda yang aktivis 98 pasti masih ingat.
Bukan hanya PDIP. Lihat pula komentar para pendukung Jokowi saat itu. Salah satunya adalah Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar. Videonya viral. Pernyataannya tegas dan terang-terangan bahwa Prabowo terlibat kasus HAM. Prabowo diberhentikan secara tidak terhormat dari TNI. Tapi itu dulu. Dulu, beberapa tahun lalu. Sekarang, Agung Gumelar dukung dan ada di kubu Prabowo. Asyik kan?
Di pihak lain, Gerindra “mati-matian” serang Jokowi. Pemerintahan Jokowi selama lima tahun ditelanjangi habis oleh Gerindra. Juga oleh para pendukung Prabowo. Seolah tidak ada satupun kelebihan di pemerintahan Jokowi.
Tapi hari ini, situasinya berubah. Berbalik 180 derajat. Hari ini, kita tiap hari disuguhi acara debat di televisi. Bagaimana militansi kader Gerindra dan para pendukung Prabowo “memuji setinggi langit” Jokowi. Mereka menilai Jokowi adalah presiden yang paling sukses. Seolah-olah tidak ada presiden yang lebih hebat dari Jokowi.
Terutama setelah Gibran diangkat sebagai cawapres Prabowo. Pembelaan dan puja-puji Gerindra kepada Jokowi semakin “sempurna dan luar biasa”. Super dramatis.
Sebaliknya, para kader PDIP yang dulu membela mati-matian dan mengangkat setinggi-tingginya Jokowi, sekarang berbalik dan justru menyerang Jokowi. Situasinya berbalik terutama sejak Gibran bergabung dan menjadi cawapres Prabowo.
Lalu bagaimana mereka, para politisi ini mempertanggungjawabkan ucapannya 4-5 tahun lalu? Jejak digitalnya masih fresh. Easy going? Melupakan begitu saja? Nggak peduli bagaimana debat di antara mereka berbulan-bulan di televisi telah memicu konflik para pendukung masing-masing di akar rumput? Apakah mereka tidak merasa berdosa? “Dosa” itu kata yang asing bagi umumnya para politisi.
Rakyat jadi bingung. Dulu begitu, sekarang kok begini. Itulah politik. Pada akhirnya, semua akan diuji konsistensinya. Seringkali memang, kekuasaan tidak mempedulikan apa yang disebut dengan “prinsip nilai dan konsistensi”. Kata orang Jawa: Esuk dhele, sore tempe. Sikapnya berubah-ubah. Sementara rakyat di bawah sudah berdarah-darah.
Gegara sikap politik kaum elite yang tidak konsisten, labil dan hanya berorientasi pada kepentingan dan kekuasaan, maka logika dan prinsip nilai yang dimiliki rakyat jadi ikut rusak. Apatisme rakyat kepada bangsa ini akan semakin besar karena terlalu banyak elite yang menjadi “badut politik”. Ironis!
Di sisi lain, ini telah menjadi entertainment. Hiburan buat rakyat. Rakyat terhibur dengan penampilan para badut di tengah lesunya program stand up comedy.
Setelah pendaftaran Pilpres pada 19-25 Oktober ini, rakyat akan semakin masif disuguhi program debat para badut di televisi. Mungkin ini bisa jadi hiburan paling murah untuk melepas lelah.