Meski disepelekan, Muslim AS ikut berperan besar dalam kemenangan Barack Obama dalam pemilu presiden AS kemarin.
Survei yang dilakukan The American Muslim Taskforce on Civil Rights and Election menunjukkan hampir 95 persen warga Muslim AS yang terdaftar sebagai peserta pemilu.
Dari jumlah itu, Barack Obama mendapatkan 89 persen suara warga Muslim sedangkan rivalnya, John McCain hanya mendapatkan kurang dari 2 persen suara warga Muslim. Survei itu juga menunjukkan bahwa mayoritas Muslim AS cenderung menyebut dirinya sebagai orang Demokrat dan hanya empat persen yang menyatakan dirinya sebagai Republikan
Meski jumlahnya relatif kecil antara 7 sampai 8 juta orang, Muslim AS berkeinginan untuk memainkan peran dan memberikan pengaruh yang lebih besar dab efektif dalam bidang sosial dan politik di negeri yang sedang dilanda krisis ekonomi terburuk itu. Hal itu sudah dibuktikan dengan terpilihnya dua Muslim AS sebagai anggota Kongres AS. Yang pertama Keith Ellison, mewakili negara bagian Minnesota. Disusul kemudian oleh Andre Carson dari Indiana.
Di tengah kehidupan masyarakat AS yang masih begitu kental dengan rasialisme, keinginan Muslim AS untuk bisa lebih diterima dalam kehidupan sosial dan politik di negeri itu adalah keinginan yang wajar. Bola sudah digelindingkan, tapi sejauh mana politik AS membuka ruang bagi eksitensi warga Muslim dan apa modal Muslim AS untuk lebih menguatkan posisinya dalam kancah politik di Negeri Paman Sam itu?
Muslim AS, Antara Penerimaan dan Penolakan
Tingginya tingkat keikutsertaan mereka dalam pemilu dan terpilihnya dua Muslim AS sebagai anggota Kongres menjadi menjadi bukti bahwa Muslim AS memiliki kepedulian yang tinggi terhadap wacana politik di negeri itu.
"Pada dasarnya, Muslim Amerika terlibat dalam proses politik dengan dua cara. Sebagian ikut masuk dalam sistem, misalnya mereka yang memilih menjadi aktivis partai-partai politik. Dan sebagian lagi memilih berada di luar sistem," kata Shaheed Amanullah, analis politik terkemuka di AS.
Amanullah mencontohkan Ellison dan Carson sebagai sosok Muslim AS memilih terlibat dalam partai politik. "Mereka yang melibatkan diri ke dalam sistem, lebih menitikberatkan pada proses dalam politik dan bukan pada isu-isu politik. Mereka meyakini, jika sebagai Muslim mereka juga ikut serta dalam proses politiknya maka mereka bisa melakukan perubahan daripada cuma melakukannya dari luar sistem," papar Amanullah.
"Sedangkan mereka yang berada di luar sistem, cenderung terorientasi dan termotivasi oleh isu-isu tertentu saja," sambungnya.
Kenneth Warren, Direktur Warren Poll of American Politics berpendapat, keterlibatan Muslim AS dalam proses politik tidak lepas dari keinginan untuk mendapatkan pengakuan dan hal ini berlaku bagi seluruh kelompok masyarakat di AS apapun latar belakang agamanya.
"Kita adalah masyarakat yang berorientasi pada pengakuan. Adalah hal yang normal jika Anda membutuhkan pengakuan itu . Dalam konteks Muslim yang bekerja untuk para politisi, saya pikir menjadi seorang Muslim bisa sangat membantu atau bisa juga akan sangat menyakitkan. Mereka akan mendapatkan pekerjaan itu, jika mereka punya kemampuan untuk melakukannya," jelas Warren.
Warren yang profesor bidang administrasi hukum di College of Education and Public Services, St Louis University mengatakan, seperti warga minoritas lainnya di AS, komunitas Muslim harus berasimilasi ke dalam masyarakat AS tanpa harus melanggar prinsi-prinsip agama Islam atau kehilangan tradisi dan akar budaya mereka. "Jika ini asimilasi ini berhasil, mereka bisa dengan sukses melibatkan diri ke partai-partai politik, ke para pejabat terpilih dan ikut berkampanye," ujarnya.
Ditanya lebih lanjut apakah Muslim yang ingin terlibat langsung dalam proses politik harus menempatkan "isu-isu Muslim" misalnya tentang Palestina, sebagai prioritasnya atau lebih memilih isu-isu yang umum seperti masalah ekonomi, pendidikan, kesehatan masyarakat dan sejenisnya, Warren berpendapat bahwa apa yang menjadi prioritas tergantung pada kecenderungan politik masing-masing individu dan bagaimana individu yang bersangkutan melihat diri mereka sendiri.
"Teman-teman Yahudi saya yang liberal, semuanya mendukung Bush karena sikap pro-Israelnya. Itu cuma satu-satunya isu dan saya pikir, Muslim juga bisa mengarahkan politik ke satu isu seperti orang-orang Yahudi yang begitu pro-Israel, menggalang kesatuan dengan satu tujuan yang sama," tutur Warren.
Ia melanjutkan,"Saya pikir, dan ini cuma pendapat saya, ada beberapa komunitas Muslim yang berusaha untuk mempengaruhi posisi AS dalam isu Muslim tertentu, misalnya masalah Palestina. Tapi tindakan itu bisa menjadi sebuah kesalahan karena menurut saya, kelompok yang hanya mengedepankan satu kepentingan saja akan kehilangan rasa hormat."
Ia mencontohkan presiden terpilih Barack Obama yang tidak cuma mengedepankan agenda-agenda warga kulit hitam AS dan rakyat Amerika menghormati Obama karena sikapnya itu.
Persatuan, Kunci Kekuatan
Warga Muslim seperti juga warga minoritas lainnya di AS secara politik dipengaruhi oleh porsi jumlah mereka di berbagai negara bagian dan wilayah kota. Contohnya warga Yahudi, karena di New York terdapat sekitar dua juta warga Yahudi, para politisi Yahudi di wilayah ini bisa dengan sangat agresif mengedepankan sikap pro-Israel di semua front. Hal semacam ini tidak terjadi di area-area yang jumlah warga Yahudi sedikit.
Di wilayah-wilayah yang menjadi basis masyarakat AS keturunan Irlandia, para politisinya juga bisa dengan agresif mempromosikan ideologi republik ala orang Irlandia dan menyatakan sikap yang radikal dalam isu-isu terkait konflik Anglo-Irlandia. "Ini bisa terjadi karena tingginya konsentrasi warga Amerika-Irlandia di distrik-distrik yang menjadi basis mereka. Dan ini adalah fakta politik di AS.
"Berbeda dengan sistem di Inggris Raya, jika Anda terpilih Anda bisa menyatakan diri mewakili warga Muslim karena kesempatan yang Anda punya sebagai orang yang berasal dari sebuah distrik dimana terdapat banyak populasi Muslimnya," kata Amanullah.
Seorang Muslim di AS yang terpilih di distrik-distrik seperti yang Keith Ellison, harus ingat bahwa ia terpilih untuk melayani warga di distrik mereka dan bukan untuk mengedepankan isu-isu yang terkait dengan identitas mereka sendiri.
Tapi dengan makin besarnya populasi Muslim di AS, akan muncul kesadaran yang tinggi di kalangan Muslim AS untuk berpolitik dan akan muncul organisasi-organisasi politik Muslim di tengah masyarakat. Warga Muslim akan berperan untuk membentuk masa depan AS baik dari sisi kebijakan dalam negeri maupun luar negeri.
Apalagi sejumlah studi menunjukkan bahwa suara warga Muslim sekarang ini makin keras terdengar dibandingkan sebelumnya dan itu membuka kesempatan bagi Muslim Amerika untuk lebih menunjukkan perannya dalam menentukan arah negara AS dan menjadi komunitas yang diperhitungkan di tengah beragamnya masyarakat AS. (ln/iol)