“The only thing we have to fear is fear itself” ungkap Franklin D. Roosevelt pada pidato inaugurasinya. Tidak hanya mengatasi Great Depression, dengan keberaniannya, pemimpin AS tersebut membawa bangsanya memenangkan Perang Dunia II.
Maka kita patut heran, dengan sebagian isi pidato Presiden SBY pasca Bom Kuningan. Dengan tetap menghormatinya, pemimpin bangsa ini justru mengungkapkan ancaman terhadap dirinya, berdasarkan informasi intelijen. Sebagian kita bertanya: apakah ini sebuah pengalihan isu, dari sentimen anti asing ke sentimen anti SBY (yang mungkin lebih baik), atau buah hasil intelijen negara yang rapuh ?
Syahdan, Karl Marx (1818-1883), Kalecki (1943), serta Minford dan Peel (1982) mengembangkan sebuah teori, political business cycle. Teori tersebut berhipotesis bahwa menjelang pemilihan umum, pemerintah berkuasa akan menggunakan sumber daya negara -dalam hal ini instrumen fiskal dan moneter- untuk melakukan kebijakan ekonomi populis agar terpilih kembali.
Namun, “kebijakan agar terpilih kembali” tersebut berbahaya, setidaknya, karena dua hal. Pertama, stabilitas ekonomi jangka panjang dikorbankan (seperti potensi inflasi karena peredaran uang besar-besaran via BLT dan gaji ke 13). Kedua, sumber daya negara yang terbatas itu, seharusnya dapat digunakan untuk kebijakan yang lebih efektif namun tidak populis.
Kaitannya dengan Bom Kuningan, teori political business cycle dapat menjadi dasar sebuah tesis: Pada saat pemilu lalu, Pemerintahan SBY lebih banyak menggunakan intelijen negara untuk melakukan “semacam kebijakan agar terpilih kembali” dengan mengorbankan sumber daya intelijen untuk tugas lain.
Dengan kata lain, BIN pimpinan Syamsir Siregar lebih banyak mengawasi dan mencegah ancaman terhadap SBY, daripada mengawasi dan mencegah aksi teroris.
Di satu sisi, tesis tersebut memang tidak memiliki kesempatan untuk dibuktikan melalui data. Bagaimana pun, tidak terdapat akses informasi bagaimana sumber daya BIN dialokasikan (untuk menangkal ancaman terhadap masyarakat dan atau mengawasi ancaman terhadap SBY). Namun di sisi lain, tesis tersebut didukung oleh logika sederhana yang dapat diketahui oleh siapapun.
Pertama, selama ini, belum terdapat batas yang jelas, sampai sejauh mana ancaman terhadap kelanggengan pemerintahan berkuasa dikategorikan sebagai ancaman terhadap negara. Penangkapan Rizal Ramli, dengan tuduhan penggalangan demonstrasi anti SBY, merupakan sebuah contoh: belum terdapat batas yang jelas, sampai sejauh mana instrumen negara dapat digunakan untuk mengeliminir ancaman terhadap pemerintahan berkuasa.
Kedua, berlawanan dengan sifat ideal pimpinan badan intelijen, BIN dipimpin oleh Syamsir Siregar yang sangat partisan secara politis kepada SBY (Syamsir anggota tim sukses SBY tahun 2004).
Sifat politis partisan ini berbahaya. Tanpa adanya batas yang jelas, seperti yang diungkapkan di atas, sumber daya BIN dapat dipakai secara berlebihan untuk melanggengkan pemerintahan berkuasa.
Selain itu, pergantian Kepala BIN apabila terjadi pergantian pemerintahan, telah memberikan insentif personal kepada Syamsir Siregar untuk menggunakan sumber daya BIN agar tidak terjadi pergantian pemerintahan. Oleh karenanya, di negara lain, terjadi tentangan dan kritik tajam oleh Senat AS terhadap pengangkatan Porter J. Goss, Direktur CIA 2004-2005, yang "sedikit partisan" kepada Republik.
Terakhir, tesis tersebut juga didukung oleh isi pidato Presiden pasca pemboman.
Dengan jelas, beliau hanya mendapatkan pasokan intelijen mengenai ancaman dirinya, bukan mengenai aktivitas pelaku teror pra pemboman.
Seolah-olah BIN memang tidak melakukan kerjanya untuk mengeliminir ancaman terhadap masyarakat, karena sibuk mengawasi musuh SBY.
Pengungkapan data intelijen, yang seperti kata Presiden, "bukan rumor, bukan isu, dan bukan gosip" (namun jauh dari petunjuk pelaku pemboman) membawa kepada pertanyaan :
Apakah Bom Kuningan bisa terjadi, karena Pemerintahan SBY lebih banyak menggunakan BIN untuk melanggengkan kekuasaannya (daripada menangkal musuh masyarakat secara nyata) ?
Rizky A.Hakim (Mhs/FE-UI 2004)
foto: beritajakarta.com