PKS: Mata Air Rakyat

Oleh: Tamsil LinrungKetua Kelompok/Ketua Fraksi DPD di MPR RI

 

DALAM sebuah cuitan, Fahri Hamzah mengunggah foto mahasiswa saat demo Mei 1998. “Tebak foto. Cari Raffi Ahmad saat pimpin demo,” begitu bunyi captionnya. Tidak sedikit netizen menyentil cuitan ini, tak kurang pula yang merespon dengan sinis.

Saya sendiri menganggap, cuitan Fahri sekadar candaan politik saja, bagian dari cara dia menyegarkan timeline twitter. Di Partai Keadilan Sejahtera (PKS), canda memang menjadi penyegar yang sabang waktu mengawani aktivitas.

Para politisi yang lahir dari rahim politik PKS telah terbiasa dengan dinamika canda-tawa itu. Meski tidak lagi berada dalam struktur kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat PKS lagi, kebiasaan ini terbawa kemana-mana. Termasuk saya, Fahri dan kawan-kawan jebolan PKS lainnya.

Mereka yang tidak paham psikologi internal, kadang menganggap kritikan atau sindirian “alumnus” PKS sebagai serangan. Padahal, bagi saya pribadi, itu adalah cara lain menyayangi PKS, cara lain menunjukkan kepedulian kepada partai dari kejauhan.

Kini, PKS telah berusia 20 tahun. Sebuah perjalanan waktu yang tidak sebentar di tengah pasang surut dinamika kontemporer politik Indonesia. PKS bertahan, PKS tetap eksis. Politik kebangsaan yang mengedepankan titik temu dan politik sebagai jalan dakwah menjadi kunci bagi PKS bertumbuh, berkembang dan tetap diminati.

Jiwa politik itu sekaligus menjawab pertanyaan banyak orang: mengapa kader PKS begitu militan? Tidak cuma kadernya, militansi partainya juga bukan kaleng-kaleng. PKS tercatat pernah menjadi satu-satunya partai oposisi di pemerintahan Joko Widodo. Pun hingga sekarang, partai ini tetap menjaga kharisma oposisi.

Meski tidak jamak dikenal dalam sistem presidensial, faktanya, partai oposisi itu perlu. Oposisi dalam sistem presidensial sejatinya adalah parlemen. Tetapi kita paham suasana parlemen kita yang justru mewarnakan sikap politik koalisi. Ini adalah konsekuensi logis dominannya partai koalisi, pemegang remote control fraksi-fraksi di DPR.

Saking dominanya aura koalisi di DPR, PKS bahkan menjadi satu-satunya partai yang menolak Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN), gagasan Presiden Jokowi itu. Faktanya, pengesahan UU IKN secepat kilat dan sarat misteri. UU IKN juga dinilai kebijakan tidak tepat dalam situasi bangsa saat ini. Hutang menumpuk, ekonomi anjlok, pengangguran di tengah membludaknya tenaga kerja non skill asal China, dan lain-lain.

Bersama fraksi Partai Demokrat, fraksi PKS juga tercatat menolak UU Cipta Kerja. Sebelas-duabelas dengan pengesahan UU IKN, pengesahan UU Cipta kerja juga melanggar prinsip demokrasi dan negara hukum. Faktanya, Mahkamah Konstitusi memutuskan UU Cipta Kerja Inkonstitusional bersyarat. Sekali lagi, PKS membuktikan kebenaran sikap politiknya.