Dari hasil pemilu 2009 ini sudah dapat menilai arah politik Indonesia. Pembagian kekuatan politik berdasarkan hasil perolehan suara, menunjukkan tiga partai, Demokrat, Golkar dan PDI, mempunyai share yang cukup besar sekitar 50 persen dari total suara. Ketiga partai yang leading berdasarkan perolehan suara ini, dapat dipastikan akan menentukan arah dan dinamika masa depan politik Indonesia.
Berdasarkan pengamatan yang ada memperlihatkan tingginya tingkat dinamika dikalangan partai-partai pasca pemilu ini. Dari pemetaan yang ada menunjukkan arah politik, sudah mengerucut menjadi dua kutub, yaitu kubu Mega dengan kubu SBY. Mega dan SBY masing-masing menjadi lokomotif, yang akhirnya ditentukan dalam pilpres yang akan berlangsung di bulan Juli nanti. Siapa yang bakal memenangkan pertarungan di pilpres nanti?
Dari awal kalau melihat kecenderungan berdasarkan hasil polling yang dilakukan oleh seluruh lembaga suvei, tidak akan ada sirkulasi (perubahan) kepemimpinan di Indonesia, dan nampaknya SBY akan tetap leading, jika nantinya di pilpres menghadapi Megawati. Masyarakat akan memilih SBY, yang memiliki gaya kepemimpinan yang relative ‘soft’ (santun), tidak banyak melakukan kontroversi, meskipun selama lima tahun ini, tidak banyak progress yang dihasilkan pemerintahan SBY, khususnya dalam menghadapi situasi krisis, dan upaya yang dapat mengeluarkan Indonesia dari problem krisis ini.
Memang, saat menjelang pemilu, usai Partai Demokrat menyelenggarakan Rakernas di Jakarta, yang berlangsung di Pekan Raya Jakarta, sempat menimbulkan keratakan hubungan antara SBY-JK, yang dipicu pernyataan Ahmad Mubarok, salah satu ketua Partai Demokrat, yang menyinggung Partai Golkar, yang memprediksi perolehan suara Partai Golkar hanyalah 2.5 persen dan menyebabkan ketersinggungan fungsionaris Partai Golkar, mendorong Wapres Jusuf Kalla menarik diri dari ‘hubungan’ politiknya dengan SBY. Selanjutnya, Rapim Golkar memutuskan memajukan JK menjadi calon presiden dalam pemilu mendatang. Meskipun, pernyataan Ahmad Mubarok itu, buru-buru diralat oleh Presiden SBY dan Anas Urbaningrum, selaku Ketua Partai Demokrat, yang meminta maaf kepada Partai Golkar.
Menjelang pemilu yang lalu, ada kekawatiran Presiden SBY, akibat dari pecahnya ‘kongsi’ dengan JK dan Partai Golkar. Kemudian, Presiden SBY mengundang sejumlah pimpinan partai politik, tujuannya membangun basis kekuatan politik melalui koalisi. Presiden SBY tidak ingin kehilangan momentum politik, akibat dari pecahnya ‘kongsi’ dengan JK dan Partai Golkar. Selebihnya, mendekatnya pemilu 2009, adalah sebuah pertaruhan politik, yang tentu harus dimenangkan, karena faktor perolehan suara Partai Demokrat ini, yang menjadi kendaraan Presiden SBY, sebagai ‘single’ faktor yang harus dimenangkan, agar dirinya memiliki legitimasi untuk maju sebagai calon presiden di pilpres nanti. Di Cikeas hadir tokoh-tokoh partai dari PKS, PKB, dan PAN,mereka bertemu dengn Presiden SBY.
Tentu, dari awal yang menginginkan pecahnya ‘kongsi’ SBY-JK ini adalah PKS. Karena, asumsinya Partai PKS, di dalam pemilu 2009 ini, berhasil mencapai target 20 persen suara, dan akan meningkatkan posisi politiknya, yang memberi peluang kepada kader PKS, menggantikan posisi JK sebagai capres, dan bersanding dengan SBY, di pilpres mendatang. Meskipun, secara dramatik, usai JK pecah ‘kongsi’ dengan SBY itu, para pimpinan PKS mengundang JK melakukan kunjungan ke kantor DPP PKS di Warung Buncit. Dan, ketika berlangsung pertemuan antara JK dengan Presiden Partai PKS, Tifatul Sembiring yang didampingi Dr.Hidayat Nurwahid, sambil ketiganya mengangkat tangan menyatakan kesediannya untuk membangun sebuah koalisi politik.
Tapi, kunjungan Wapres Jusuf Kalla ke kantor DPP PKS di Warung Buncit itu, tidak mempunyai umur panjang, sampai menuju ke sebuah koalisi politik. Karena, tak lama, sebuah peristiwa baru telah muncul, di mana Ketua Majelis Syuro PKS, H.Hilmi Aminuddin Lc, bertemu dengan Presiden SBY di Cikeas, dan menegaskan adanya koalisi dan dukungan politik kepada Presiden SBY dan Partai Demokrat. Maka, sesungguhnya deklarasi politik yang berlangsung Warung Buncit itu, hanyalah menjadi sebuah ‘mujamalah’ (basa-basi) politik, yang tak mempunyai arti apa-apa. Dan, tentu PKS akan memilih berkoalisi dengan Partai Demokrat dan mendukung Presiden SBY, yang berdasarkan berbagai lembaga survei suaranya terus leading, dan mengungguli partai-partai lainnya.
Sebuah langkah politik yang sangat imajinatif, sudah dilakukan para elite PKS, yang sudah membayangkan bahwa PKS akan melakukan ‘take over’ kekuasaan di pilpres mendatang. Dengan asumsi PKS bisa ‘grow up’ secara signifikan suaranya melampaui kisaran 20 persen suara. Dengan jumlah suara ini, PKS akan menduduki urutan kedua, dan dapat menggeser Golkar dan PDI.
Asumsi yang sifatnya matematis ini, dan dengan keyakinan dapat tercapai, karena adanya dukungan mesin politik Partai PKS yang benar-benar ‘in’ untuk mendapatkan target politik, dan sudah terbayang,masa depan Indonesia pasca pemilu 2009 ini, Partai PKS bersama dengan Demokrat dan Presiden SBY akan mengelola negara secara penuh. Maka, sepanjang menjelang kampanye yang berlangsung telah beredar di berbagai daerah spanduk, baliho, dan stiker, yang bertuliskan : “SBY presidenku, dan PKS partaiku”.
Tapi, hasil pemilu 2009, sangat mengejutkan semua fihak, termasuk para pemimpin partai politik, betapa tidak, justru yang menjadi pemenang pemilu ini, tak lain adalah ‘Golput’, yang jumlahnya mencapai 45 persen suara. Meskipun, sebelum pemilu ‘Golput’ sudah dihantam habis, termasuk oleh ‘Fatwa’ MUI, yang melarang adanya ‘Golput’, tapi nampaknya tak mempan. Inilah yang menyuramkan ambisi dan imajinasi para pemimpin partai politik.
Semua angan dan keinginan menjadi teruji kembali. Apakah masih valid atau tidak sebagai sebuah keinginan atau cita-cita. Di mana Partai Demokrat yang paling tinggi suaranya hanya mendapatkan 20,32 persen, Partai Golkar mendapatkan suara 14.5 persen sedangkan Partai PDIP mendapatkan suara 14.2 persen. Jadi, Partai yang paling besar suaranya Partai Demokrat hanya 20 persen, dan dikalahkan oleh suara ‘Golput’ yang jumlah mencapai 45 persen. Implikasinya setting politik dan pola koalisi ke depan akan berubah kembali.
Di awal sudah dijelaskan pasca pemilu 2009 ini, sudah nampak pengkutuban partai-partai, melalui koalisi yang sudah berlangsung. Tiga partai politik, Demokrat, Golkar, dan PDIP, dan tokohnya SBY, JK, dan Mega, sudah sangat jelas ketiganya akan terlibat secara esensi dalam ‘power game’ (permainan kekuasaan). Ketiganya, yang akan menentukan arah politik, dan bagaimana pola pertarungan politik yang akan datang, dan tentu dengan segala implikasinya. Termasuk pilihan politik mereka, yang berimplikasi kepada pola koalisi yang akan datang.
Persoalannya, pasca pemilu ini, pilihan-pilihan politik yang dilakukan SBY, JIK, dan Mega, ke mana arahnya? Tentu, yang menarik, apakah JK akan kembali ke SBY, dan apakah SBY mau menerima JK? Dari hitungan yang ada, SBY akan menerima kembali JK. Karena, lima tahun terakhir pemerintahannya, SBY ingin dikenang sebagai negarawan, dan mewariskan keadan yang baik, dan menerima penghargaan sebuah pemerintahan yang disebut dengan penuh ‘succses story’ oleh bangsa Indonesia. SBY pasti tidak ingin sesudah tidak menjadi presiden mendapatkan hujatan dan makian rakyat, karena kegagalannya.
Maka, asumsinya SBY ingin membangun pemerintahan yang kuat, dan mendapatkan dukungan parlemen, yang juga kuat. JK yang sekarang memimpin Golkar, dan sebagai wapres, pasti ingin meninggalkan jejak yang baik, keberhasilannya menyelesaikan konflik di Aceh, Ambon, dan Poso, harus ditambah dengan menyejaterakan rakyat. Selain, keduanya pasti ingin mewariskan partai yang masih dapat eksis di masa depan. Partai Golkar dan Partai Demokrat tetap eksis di masa depan. Dan, semua itu sangat tergantung dari tingkat hubungan SBY – JK, yang keduanya sebagai lokomotif partai, dan keberhasilannyas mengelola pemerintahan lima tahun mendatang.
Berdasarkan kepentingan kedua partai politik itu, Partai Golkar dan Partai Demokrat, yang sama-sama harus mempertahankan nilai-nilai strartegis yang mereka ingin capai, kemungkinannya, SBY-JK akan rujuk kembali dan akan membangun koalisi. Karena, tidak dapat dibayangkan, tingkat destruktifnya, ketika pemerintahan SBY, harus menghadapi oposisi politik yang dilakukan oleh Golkar dan PDIP, serta partai kecil lainnya? Pilihan yang paling realities ini, hanyalah pilihan yang sifatnya politis, yang harus dilakukannya.
Nampaknya, Golkar sendiri tak banyak punya pilihan, ia harus realistis, karena perolehan suaranya hanya 14.5 persen. Partai Golkar, tidak mungkin melakukan koalisi dengan PDIP, yang sejak awal berbeda secara politik, dan yang paling masuk akal melakukan koallisi dengan demokrat. Dengan demikian, pemerintahan SBY akan mendapatkan dukungan parlemen yang kuat, selain dari dukungan Partai Golkar, juga mendapatkan dukungan dari PKB, PAN, PPP, PBB, dan sejumlah partai kecil lainnya.
Berdasarkan hasil perolehan suara yang ada, Partai PKS yang pada awalnya mempunyai ambisi, dan menginginkan masuk ke dalam ‘Istana’, sementara nantinya harus puas, kemungkinannyan hanya masuk ke dalam kabinet. Karena, PKS suaranya di pemilu 2009 ini, tak mencapai 10 persen, dan dari hasil semua lembaga survei berkisar 7-8 persen. Keinginannya untuk mendampingi Presiden SBY, kader PKS yang ingin menjadi wakil presiden, sementara itu, harus disimpan dahulu di ‘laci’. Karena, faktanya gagal untuk melakukan ‘booming’ suara, meskipun sudah melakukan berbagai langkah politik, yang sangat ‘dramatis’ dan ‘habis-habisan’ untuk mendapatkan suara. PKS sudah mengalami ‘lossing to bargain’ (kehilangan daya tawar) terhadap SBY dan Golkar, karena memang suaranya tidak mencapai 20 persen, seperti yang ditargetkan.
Mungkin, awalnya PKS menjadi ‘pionir’, yang mendukung Presiden SBY. Tapi, yang namanya politik, yang berbicara hanyalah sebuah kepentingan. Menurut hitungan politik, tak mungkin SBY mengambil ‘capres’ dari PKS, dan mengalahkan Golkar, meskipun awalnya JK dan Golkar sempat pencah kongsi dengan SBY. Inilah sebuah pelajaran politik yang paling berharga, yang perlu mendapatkan perhatian, bagi siapapun yang terlibat dalam politik.
Selanjutnya, dari pernyataan Sekjen Partai PKS, Anis Mata, menyatakan, jika SBY mengambil Golkar, dan menjadikan JK sebagai wakil presidennya, langkah politik yang akan diambil PKS, menarik dukungan kepada SBY dalam koalisi. Ketua MPR, Hidayat Nurwahid, yang merupakan kader PKS, yang sudah sering disebutkan untuk di ‘duetkan’ dengan SBY, juga sudah mengeluarkan nada, yang pesimis, bahwa kemungkinan dirinya akan disandingkan dengan SBY. Hidayat menyatakan : “PKS memang tidak dalam posisi mengajak berkoalisi, karena suaranya tak mencapai target 20 persen. Tapi, bila SBY-JK kembali di duetkan, dia mengatakan, “PKS mungkin berpikir ulang”, tegas Hidayat.
Tapi, peluangnya PKS menjadi oposisi terhadap pemerintahan SBY, di masa yang akan datang, kemungkinan sangat tipis. Dan, mestinya PKS berani mengambil posisi oposisi, sambil terus membangun kembali partainya. Hanya, nampaknya, yang pasti PKS, tetap ingin mempunyai akses terhadap kekuasaan, yang akan diperjuangkan dengan SBY-JK, tak lain adalah portofolia di kabinet mendatang, berapa jumlah kursi di kabinet yang akan didapatkannya.
Atau apakah PKS berani mengambil ‘opsi’ politik meninggalkan SBY, lari ke Mega, dan dengan melakukan ‘bargaining’ mendapatkan posisi wapres? Ini masih harus dilihat dari dinamika politik berikutnya, termasuk bagaimana keputusanan yang diambil kalangan elite Partai PKS yang berada di lembaga Majelis Syuro. Karena, Mega juga tetap menginginkan dukungan dari kalangan Islam. Apakah, jika PKS mendapatkan tawaran wapres dari Mega akan diambil? Karena, partai medium, yang suaranya relatif masih tinggi adalah PKS.
Antitesa dari pemerintahan SBY-JK yang akan datang hanya dari kubu Mega. Mega, nampaknya akan menjadi muara para jendral yang oposisi terhadap SBY. Partai PDIP dan Mega, kemungkinan menjadi lokomotif politik untuk menghadapi kekuatan SBY-JK. PDIP dan Mega, mendapatkan dukungan Gerindra yang dipimpin Letjen Prabowo Subianto dan Hanura yang dipimpin Jendral Wiranto. Banyak kalangan purnawirawan yang kurang puas dengan Jendral SBY, yang dianggap telalu ‘lemah’, khususnya menyangkut tentang nasionalisme.
Di dalam gerbong ini, termauk mantan Kepala BIN , Jendral AM.Hendropriyono, dan dari kalangan sipilnya Gus Dur atau Rizal Ramli. Mega, Prabowo, Wiranto, Gus Dur, dan Rizal Ramli, serta Hendro, belakangan mempunyai kesamaan pandangan dalam perspektif pembangunan, dan kebijakan-kebijakan politik serta ekonomi, yang lebih ingin mengedepankan kemandirian ekonomi dan politik, tapi apakah nantinya dapat diwujudkan sebagai sebuah gerakan, ini menuntut komitment yang terlibat dalam kelompok ini.
Tapi, siapa yang akan menjadi wapresnya Mega nanti? Kemungkinan, kalau dilihat dari karakter yang memiliki peluang adalah Prabowo. Prabowo dibanding para jendral lainnya, seperti Wiranto, dialah yang memiliki karakter yang paling kuat untuk menjadi pemimpin. Prabowo oleh tokoh PDIP, yang sudah ‘beralih’ ke Gerindra Permadi, mendapatkan julukan sebagai Soekarno ‘kecil’. Dilihat dari sisi ini, peluang ke depan, Prabowo bisa menjadi ‘putra mahkota’ bagi PDIP, di saat nanti, pasca tahun 2014, ketika Mega sudah lengser, kapal PDIP ini, nakhodanya dapat digantikan oleh Prabowo, kalau dilihatkan dari kelayakan politik, bukan Puan Maharani.
Jadi, sampai tahun 2014 nanti, tak akan ada pergantian kepemimpinan di Indonesia. Pergulatan politik antar jendral ini, yang nampaknya akan dimenangkan kembali oleh Jendral SBY, yang mendapatkan dukungan dari partai-partai yang berbasis Islam, dan nasionalis. Sementara itu, Mega dari perspektif politik, sudah harus menyerahkan ‘estafeta’ kepemimpinannya, karena pilpres Juli nanti, pasti akan menentukan akhir perjalanan politiknya. Ini sangat logis.
Sirkulasi kekuasaan dan transfer powers (pengalihan kekuasaan) atau regenerasi melalui proses yang ada yaitu ‘demokrasi’, baru akan berlangsung sesudah tahun 2014. Proses politik yang baru akan muncul, sesudah SBY, JK, Mega, meninggalkan gelanggang politik. Tapi, siapa yang akan mempunyai peluang sesudah tahun 2014 nanti? Apakah para jendral atau para politisi sipil?
Di mana para politisi Islam? Mereka tak pernah berani tampil, dan mengelola politik dengan kekuatan politik yang mandiri, dan konsisten, serta serius memperjuangkan cita-cita ideologi dan keyakinannya, mereka lebih suka menjadikan para jendral itu sebagai ‘patron’ mereka. Itulahnya kenyataannya. Golongan Islam secara politik akan mengalami ‘vacuum’ (kekosongan) kepemimpinan politik, yang panjang, jika tidak melakukan langkah-langkah strategis ke masa depan, dan akan kehilangan peluang untuk ikut berpartisipasi melakukan perbaikan terhadap negara.
Di tengah-tengah situasi krisis yang ada sekarang ini, seharusnya PKS, berani mengambil posisi menjadi alternatif, dan memelopori kekuatan baru, dan menggalang kekuatan Islam, secara serius, dan menawarkan solusi bagi masa depan Indonesia yang bersumber dari nilai-nilai prinsip Islam. Tidak hanya bisa berkoalisi dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada.Wallahu ‘alam. (msi)