Mestinya, PKS sudah lebih dari cukup untuk dapat memahami, bagaimana karakter, perilaku politik, arah, orientasi, dan dasar pandangan ideologi Presiden SBY. Waktu lima tahun sudah cukup. Sebagai mitra koalisinya. Untuk memahami semua aspek kebijakan, yang diwujudkan dalam pemerintahannya, selama kurun waktu yang ada, dan semuanya itu menjadi cerminan pribadi Presiden SBY, secara utuh. Semuanya, tentu sudah dapat dibaca dan disimpulkan, tanpa banyak membuang waktu, yang mengakibatkan munculnya destruksi atau damage terhadap PKS.
Kalau sekarang yang menjadi persoalan PKS, karena pilihan tokoh yang menjadi cawapres, dan SBY memilih Budiono, dan itulah pilihan yang sebenarnya Presiden SBY. Setidaknya, yang dimaksud sesuai dengan salah satu kriteria, cawapres, yang dibuat Presiden SBY, diantaranya adalah faktor ‘chemistry’, tak lain, tokoh Budiono itu, secara karakter, perilaku politik, arah, orientasi, serta pandangan ideologinya sama dengan Presiden SBY.
Disisi lain, posisi Budiono, seorang ekonom, yang pernah menjabat menjadi Menkeu di era Mega, dan menjadi Menko Ekuin, serta Gubernur BI, di era SBY, serta relasinya dengan World Bank, IMF, serta lobby Washington, yang pengaruhnya terhadap Indonesia sangat kuat, ditambah lagi dengan posisi Indonesia yang masih mempunyai utang luar negeri, yang jumlahnya hampir mencapai lebih 2000 trilyun, dan ditambah krisis global, yang ada sekarang ini, dan belum menampakkan kapan bakal berakhir, dan lebih-lebih kepentingan masa depan Partai Demokrat, maka seperti yang dikatakan oleh Ahmad Mubarok, Ketua Partai Demokrat, tidak mungkin SBY memilih cawapresnya dari partai politik mitra koalisinya.
Budiono adalah bagian representasi dari bangunan yang sudah lama, tertanam di Indonesia, sejak awal Orde Baru, di mana Indonesia masuk ke dalam sistem kapitalisme global, dan ada yang disebut kelompok ‘Mafia Berkely’, sejak zamannya Widjojo Nitisastro, yang menjadi generasi pertama, dan menjadi arsitek ekonomi Indonesia. Bersama kelompoknya, mereka akan terus dipertahankan oleh siapa saja yang bekuasa, khususnya untuk menjaga konsistensi hubungan Indonesia dengan lembaga-lembaga multilateral dan lobbi Washington.
Sekarang generasi berikutnya, yang akan menjadi ‘nakhoda’ dibidang ekuin, yaitu Sri Mulyani, dan pernah berkarir di perwakilan IMF, di kawasan Asia. Menjadi sangat pararel, di mana saat Budiono menjadi wakil presiden, dan yang menangani dibidang ‘ekuin’ tetap orang-orang yang menjadi kepercayaan dari kelompok ‘Berkely’ ini, sehingga konsistensi kebijakan ekonomi yang lebih pro-Barat, tetap terjaga.
Betapapun, Indonesia tetap mempunyai nilai strategis, dilhat dari segi geopolitik, bukan hanya letak geographisnya, tapi Indonesia memiliki sumber alam, yang luar biasa melimpah, dan asset yang besar, dan jumlah penduduknya, nomor empat di dunia, tetap penting di mata dunia. Inilah sedikit latar belakang SBY memilih Budiono menjadi wakil presiden yang akan dideklarasikan 15 Mei mendatang.
Persoalannya, mengapa PKS dengan sangat mudah, kesannya dapat digalang, melalui ‘orang-orang’nya SBY, saat sebelum pemilu berlangsung? Apa sebenarnya yang ditawarkan oleh Hatta Rajasa, orang yang mendapat tugas khusus melakukan missi pendekatan kepada PKS dan partai-partai Islam itu? Sehingga, mereka berbondong-bondong masuk ke kubu ‘Cikeas’, di mana saat itu, SBY dalam kondisi krisis, karena menghadapi raksasa ‘PDIP’ dan ‘Golkar’, dan keduanya menjadi ‘musuh’ SBY, dan momentumnya, terjadi perpecahan antara SBY dengan JK?
Ketika Presiden SBY menghadapi krisis, terutama sebelum menghadapi pemilu, berhasil menggalang partai-partai Islam, termasuk PKS yang lebih dahulu masuk ke dalam mitra koalisi. Disini ada faktor : ‘Hatta Rajasa’, yang melaksanakan missi dari Presiden SBY, yang secara persuasive dapat mempengaruhi elite PKS, dan mungkin sampai disini, Hatta Rajasa melepaskan ‘balon’, mungkin rekaan, dan menjadi ‘umpan’ terhadap PKS dan partai-partai Islam lainnya, bahwa dirinya menjadi ‘putera mahkota’ (cawapres), agar mereka masuk ke ‘bubunya’ Presiden SBY.
PKS dan partai-partai Islamnya, percaya bahwa Hatta Rajasa akan menjadi ‘wapres’, dan mereka mengharapkan dengan posisi Hatta itu, partai-partai Islam yang menjadi mitra koalisi, mempunyai akses politik, melalui jalur Hatta Rajasa. Hitung-hitungan yang sifatnya pragmatis itu, yang mungkin menjadi pegangan mereka, dan mendasari pilihan koalisi itu. Dan, tentu informasi dari Hatta itu, menjadi pegangan mereka. Bahkan, tokoh seperti Amin Rais pun, menghadap SBY, karena hanya mengandalkan informasi dari Hatta Rajasa.
Pemilu sudah usai, dan posisi Demokrat sudah kokoh, serta mendapatkan dukungan suara, yang cukup 20.85 persen. SBY, bebas menentukan pilihannya, dan pilihan itu jatuh kepada Budiono,seorang ekonom, yang diyakini mampu mendampinginya, dan membantu memberikan arah kebijakan dibidang ekonomi, guna mengatasi krisis ekonomi. Missi Hatta Rajasa, sudah usai, dan momentumnya, hanya tinggal deklarasi yang akan digelar di Bandung.
SBY dan Budiono, kuasi dari militer-sipil, yang sama-sama memiliki pandangan yang sama, pro-Barat, dan keduanya Islam ‘abangan’, yang cenderung sekuler. Inilah yang mungkin dapat diterima oleh fihak Barat, yang memiliki kepentingan di Indonesia, yang merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, dan inilah yang disebut dalam terminologi mereka sebagai Islam ‘moderat’ oleh Barat.
Lalu, apa yang harus dilakukan oleh PKS, menghadapi situasi politik yang ada ini, memilih tetap melakukan koalisi dengan Demokrat, membentuk poros koalisi sendiri dengan partai-partai Islam, bergabung dengan Golkar dan Hanura, mendukung pasangan JK/Warinto, atau pilihan terakhir, fokus di parlemen, disertai terus melakukan control terhadap pemerintahan yang ada, dan melakukan ‘hisbah’ (amar ma’ruf nahi munkar), sehingga tetap terjaga citra PKS, sebagai partai yang mengadepankan citra bersih, peduli dan professional.
Pilihan terakhir yang paling mungkin , yaitu fokus di parlemen, dan terus melakukan kapitalisasi potensi dan kekuatan, dan membangun sumber daya manusia (SDM), khususnya untuk menghadapi masa depan, yang penuh dengan tantangan, dan membangun infrastuktur bagi perjuangan dan menegakkan da’wah.
Ini pilihan yang paling sedikit efek ‘damage’nya, dibandingkan harus terus disibukkan dengan koalisi, dan memburu kekuasaan, yang sebenarnya, PKS masih perlu adanya persiapan yang sangat dibutuhkan sebagai sebuah partai politik, yang tujuannya ingin mengelola kekuaasan negara. Biarkan rakyat memilih di pilpres di bulan Juli nanti, sesuai dengan hati nurani mereka. Wallahu ‘alam.