Perhelatan Pemilu anggota legislatif baru saja berakhir. Masyarakat sudah mengetahui tokoh yang akan mewakilinya di daerah masing-masing. Kendatipun harapan masyarakat tentang perubahan tumbuh setengah hati, tetapi keterwakilan mereka dalam parlemen akan kembali berjalan menetapi periodiknya. Hingga lima tahun ke depan, mekanisme perundangan, penganggaran, dan kontrol atas kebijakan pemerintah dimungkinkan berlangsung seperti biasa. Iklan formasi Caleg terpilih akan menjadi pahlawan kesejahteraan sepertinya tidak akan berlanjut pada sikap aksi politiknya.
Resume awal tersebut bisa dipahami dengan tiga perspektif. Pertama, fakta bahwa mayoritas Caleg terpilih adalah muka-muka lama. Kedua, keterpilihan penghuni lama atau pendatang baru didominasi oleh orientasi selain kapabilitas calon. Ketiga, Pemilu Legislatif dalam bingkai sekularisme demokrasi sejatinya memperpanjang masa legitimasi penguasaan elit atas rakyat yang justru mengakibatkan kesejahteraan mereka dimonopoli oleh penguasanya.
Sebelum pelantikan anggota legislatif dilakukan, panggung politik Indonesia sudah dikuasai perbincangan pilpres, meskipun rentan waktu masih cukup jauh. Akan tetapi, dalam hitungan menit setelah berbagai lembaga survey mengumumkan hasil hitung cepat Pemilu Legislatif, eskalasi pencalonan presiden sudah begitu tinggi. Publik digiring kepada opini “presidenku penyelamat negeriku”.
Propaganda yang masif deras bergulir. Berbagai kemasan informasi mencoba membangun sikap positif di tengah kejumudan rakyat atas pesta lima tahunan ini. Indonesia membutuhkan pemimpin. Adapun negarawan sejati yang akan mengurai seluruh kemelut sedang dipersiapkan oleh kekuatan-kekuatan partai. Maka, tidak ada pilihan terbaik selain menghanyutkan diri dalam pusaran arus. Untuk mewujudkan yang dinamakan perubahan besar, seluruh rakyat harus bersikap aktif mengikuti detal-detail upacara mencari orang nomor satu di Republik ini.
Seluruh waktu yang dimiliki oleh Indonesia sepertinya habis tersita untuk membangun kembali sensasi paling sakral yang seharusnya diinternalisasi oleh rakyat mengenai Pemilu Presiden. Sejak aksi pencitraan, koordinasi tim, lobi-lobi koalisi antarpartai, hingga kesempatan memberikan masukan politis melalui pintu yang untuk sementara sengaja dibiarkan setengah terbuka. Rakyat benar-benar dibutuhkan dan diajak sungguh-sungguh terlibat dalam setiap gerak koordinasi dan dinamika informasi.
Antusiasme vs Apatisme Masyarakat
Rakyat Indonesia mengalami sejarah buram yang menahun. Pernyataan kemerdekaan pada Agustus 1945 yang lalu bukanlah pada makna hakikinya. Proklamasi sekedar mengumumkan terjadinya pengalihan wujud ketertindasan masyarakat banyak. Kumandang Proklamasi sejatinya memberi batas antara penjajahan oleh senjata menjadi imperialisme melalui berbagai produk perundangan.
Sayangnya, tidak banyak yang memahami fakta bahwa kita masih terjajah. Perlawanan yang diberikan atas kinerja kekuasaan hanya sebatas aksi emosional. Hal itu disebabkan faktor ekonomi yang tidak kunjung sejahtera. Hingga masa-masa berikutnya, kegagalan mengidentifikasi inti persoalan kian kentara. Demokrasi bukanlah palu godam penghancur sistem nilai ketinggian peradaban dan manusia. Justru demokrasi adalah pilihan bijak bagi mengadopsi semangat toleransi dan kompromi bagi seluruh variabel yang plural. Demokrasi dianggap ‘hanya’ telah diselewengkan oleh para oknum sehingga membiakkan banyak masalah.
Rakyat punya gaya berbeda manakala bereaksi terhadap buruknya pengelolaan urusan mereka. Rakyat tidak pandai bicara, juga khawatir disalahkan jika melakukan suatu tindakan. Reaksi atas para penguasa yang memperlakukan mereka tidak simpatik adalah dengan bersikap masa bodoh atas jalan tersampaikannya para birokrat itu pada kursi kekuasaan (baca: Pemilu). Pelan tapi pasti, sikap apatis terhadap agenda pemilihan umum menguat. Rakyat mengalami rasa bosan yang luar biasa, dan ini tidak terobati oleh slogan manis demokrasi meskipun disuarakan lantang dan berulang-ulang.
Gejala ini mudah terdeteksi. Mendekati ajang Pilpres 2014, antisipasi dini perlu dilakukan oleh seluruh komponen. Dua pasang Capres/ Cawapres harus segera dijual agar pemenangnya mendapatkan legitimasi kuat. Angka Golput kisaran 34% pada Pemilu Legislatif sebelumnya menjadi pelajaran penting. Berbagai himbauan yang disampaikan jauh-jauh hari, slogan yang persuasif, stigmasisasi Caleg sebagai formasi harapan, pembentukan tim-tim sukses hingga fatwa ulama ternyata belum berhasil secara optimal memancing tingkat kehadiran pemilih mencapai target 75%.
Menyadari kondisi jumud dan fakta kehadiran hak pilih yang kurang menggembirakan, menyebabkan bukan hanya KPU yang merasa terpacu. Partai sebagai rumah pertama para politisi segera melakukan konsolidasi lebih dini dan lebih intensif. Daftar hak pilih untuk Pilpres yang dikeluarkan oleh KPU mengalami kenaikan jumlah hingga seratus ribu lebih pemilih. Iklan televisi, poster di kaca mobil, titip profil melalui jaringan sms menandai gayengnya usaha menstimulasi kehadiran dan dukungan suara.
Gencarnya opini Pilpres memang bisa dirasakan tuahnya. Bincang tentang Jokowi dan Prabowo menjadi menu harian di kantor pemerintahan, sekolah, depan televisi, angkutan umum dan pertemuan organisasi hingga acara-acara silaturahmi. Namun hangatnya diskusi tentang profil Capres/ Cawapres tidak selalu identik dengan kepastian terlibat memberikan suara. Karena dalam persoalan-persoalan tertentu yang disepakati –untuk mewujudkan harapan perubahan– menemukan jalan buntu, diskusi berubah menjadi sangat tidak serius.
Orientasi Dukungan
Dua pasang Capres/ Cawapres resmi terdaftar di KPU. Selasa, 21 Mei 2014, Jokowi – Jusuf Kalla dan Prabowo – Hatta Rajasa dinyatakan sebagai kandidat untuk suksesi Presiden RI 2014/2019.
Ada yang luar biasa dalam konstelasi kali ini. Jumlah koalisi mengerucut menjadi hanya dua kubu. Sebelumnya, tidak kurang dari 5 calon dipublikasikan. ARB dari Golkar, Rhoma Irama/ Mahfud MD dari PKB, Anis Matta dari PKS, Gerindra mempersiapkan Prabowo dan Joko Widodo dari PDIP, serta Dahlan Iskan (Demokrat), Yusril Ihza Mahendra (Bulan Bintang) dan Wiranto (Hanura). Lebih menakjubkan lagi, partai dengan perolehan suara lebih banyak bahkan mengalah. Profil ARB yang kurang memiliki elektabilitas memaksa Golkar merapatkan dukungan ke Prabowo.
Baik Prabowo maupun Jokowi memang layak jual. Profil kedua calon melekat dalam komunikasi harian di tengah khalayak. Nama besar Prabowo sudah disandang lebih awal, sejak Gerindra muncul meramaikan barisan partai pada pesta demokrasi 2009. Sementara Jokowi baru saja dilahirkan. Tapi tiba-tiba saja identitasnya meraksasa. Media massa menjajakannya ramai-ramai. Hingga percakapan mengenai popularitas tokoh-tokoh, ruang besarnya seolah milk Jokowi.
Dilihat dari volume penyebutan nama, Jokowi memiliki kans lebih banyak. Aksi blusukan saat memimpin Jakarta menyedot perhatian publik. Masyarakat tidak mau susah-susah mikir. Secara kasatmata rakyat kecil dikunjungi oleh Jokowi. Dan itu sudah cukup bagi orang bawah. Apa yang ada di belakang aksi humanioranya hanya para pemikir politik yang berkepentingan. Kalau jumlah mereka sedikit, apalagi tidak mengedukasikan analisanya ke tengah publik, pengaruh manuver blusukan ini akan kokoh menancap.
Berbeda dengan Prabowo. Isu penting yang menghangatkan ruang-ruang diskusi di belakang hari adalah bayangan Orde Baru. Asumsi tentang Orde Baru bukan seperti perspektif yang dibangun saat awal reformasi yang serbaburuk. Ketika bahan pokok naik, tarif listrik naik, nilai uang melemah, BBM naik, korupsi menggurita dan segala macam demam kehidupan dirasakan rakyat, orang lalu merasa kangen suasana Orba. Ternyata hari kemarin lebih mudah dirasakan rakyat. Jika Prabowo tersingkir dari meja reformasi, berarti dia berbeda dari para petualang reformasi. Harapan bisa bertunas kepadanya agar harga beras kembali murah dan keamanan lebih terpelihara.
Pada kondisi keunggulan yang berbeda, Prabowo dan Jokowi menjadi teka-teki. Di warung ada Prabowo ada Jokowi. Di pinggir lapangan sepakbola ada Jokowi ada Prabowo. Di angkutan umum Prabowo dan Jokowi sama disebut. Menjelang rapat organisasi, masa rehat, dan bila rapat telah usai, sharing tentang Prabowo – Jokowi juga acap terlontar.
Menuju RI-1 2014 sungguh telah menghipnotis sabagian masyarakat Indonesia, laksana seorang anak menunggu di halaman sembari mengkhayalkan ayahnya sesaat lagi pulang dengan pistol mainan dalam genggaman.
Kalkulasi Kemenangan
Dukungan positif kepada kedua pasang kandidat pijakannya jelas. Hanya saja, kapitalisme memang semakin merusak ketulusan. Fanatisme karena profesionalitas calon tergerus dari pikiran. Beberapa periode sebelumnya figur tokoh masih mendominasi pertimbangan, begitupun keilmuan dan keteladanan moral. Akan tetapi, secara berangsur orientasi material mengambil alih posisi dominan. Setiap kepala dilatih membiasakan profit oriented. Sekelompok kecil yang tersisa dari pakem masa silam ternyata bukan tanpa masalah. Mereka mewarisi sikap loyal namun sekaligus lengkap dengan menutupnya ruang pemahaman bagi menerima informasi dan pesan-pesan mencerahkan.
Seandainya gejala umum pra Pemilu Legislatif dibiarkan membangun fenomena sendiri, tentu data hasil hitung cepat akan berbeda. Di banyak tempat para hak pilih sudah lazim bersuara: Mau datang ke TPS kalau ada yang memberi upah.
Untuk mengikuti mekanisme politik membutuhkan struktur menajerial yang peka gejala. Iklim apatisme yang terbaca seperti tersebut di atas memungkinkan tim sukses yang terjangkiti budaya para petaruh segera melakukan antisipasi dan memanfaatkan dengan cermat setiap gejala. Hasilnya tidak jauh dari dugaan. Baliho, sowan tokoh, konsolidasi tim, deskripsi calon dan iklan segala macam ternyata kalah tuah. Sejak pukul 00.00 dinihari 09 April 2004 hingga pagi lalu lalangnya orang menuju TPS terjadi berulang-ulang pelanggaran Pemilu sebagai isyarat bahwa sejarah terus berjalan ke sudut yang paling gelap. Distribusi uang yang jumlah perorangnya sebenarnya tidak seberapa, dalam hitungan jam mampu meruntuhkan berbagai orientasi dukungan yang lain, yang dibangun berminggu-minggu sebelumnya!
Dan itu, bukan sesuatu yang mustahil terulang pada Pilpres yang sebentar lagi bakal dihelat. Ini berarti, jika pengaruh keberpihakan elit kekuasaan bisa diminimalkan, jika struktur hirarkis dari KPU pusat hingga KPPS tidak jebol di sana-sini, jika sosok-sosok tertentu bisa diredam potensi tangan besinya untuk memaksakan ratusan hak pilih mendukung seorang calon, atau kekuatan jumawanya untuk mengomando pihak pelaksana memanipulasi hasil pencoblosan, maka kemenangan yang paling memungkinkan hanya bisa diraih oleh berkeliarannya modal melalui apa yang lazim dunia menyebutnya “serangan fajar”.
Sebuah Momentum
Bagi rakyat hendaknya bersikap waspada. Momentum pilpres bisa jadi titik tolak meninggalkan demokrasi yang rusak dan merusak. Walaupun jargon yang diusung rasa nasionalis, namun intinya kapitalis. Rakyat jangan tertipu lagi untuk kesekian kali. Cukuplah pergantian rezim tak akan membuat perubahan ke arah lebih baik. Selama tidak ada perubahan sistem. Apalagi karakter pemimpin saat ini hanya demi menjaga kekuasaan. Tak segan memanipulasi dan mengobral janji. Pergolakan pemikiran politik yang sahih hendaknya terus digulirkan. Lantas, masihkah layak mempertahankan demokrasi yang sarat manipulasi?