Kapasitas dan kapabilitas Joko Widodo tentu terlihat dari kinerjanya yang hanya unggul di bidang infrastruktur. Namun ke depannya ada pertanyaan yang harus dijawab yakni, apakah benefitnya sesuai dengan biaya dan upayanya? BUMN di bidang Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang dibebani utang yang besar, lebih dari Rp 156 triliun, dan harga tol yang mahal (karena investasi swasta), apakah berdampak pada ekonomi rakyat? Lalulintas barang dan orang lancar, namun harga tol yang tinggi tentu justru membuat mahalnya biaya logistik.
Sementara kinerja di bidang ekonomi relatif gagal, seperti neraca perdagangan defisit, nilai Rupiah yang terus merosot (saat ini Rp14.300 per USD), defisit APBN, utang yang mencapai Rp 5.200 triliun, dan utang BUMN sebesar Rp 4.800 triliun (Rp 156 triliun dari BUMN PUPR) yang akan menjadi bom waktu, kredit macet di perbankan, dan harga minyak dunia yang mencapai USD 80/barrel, padahal harga dalam APBN hanya USD 48/barrel. Tentu subsidi akan membengkak, dan kebutuhan meningkat untuk menalangi selisih harga Dollar Amerika Serikat.
Dapat disimpulkan bahwa kinerja ekonomi pemerintahan Joko Widodo “buruk” karena menyeret ekonomi Indonesia pada resesi, dan nyaris menjurus krisis moneter, karena ambisi pembangunan infrastruktur.
Di bidang politik dengan maraknya politik transaksional, dan gagalnya Threshold 0%, terkesan parpol menjadi kartel dalam sistem demokrasi prosedural. Hal ini berekses mengarah pada kriminal demokrasi karena korupsi (di APBN) terlihat dari banyaknya Kepala Daerah yang ditahan KPK.
Penegakan hukum, khususnya korupsi juga dinilai buruk bagi petahana yang terjebak dengan permainan kartel politik yang ikut membantunya di kabinet kerja.
Jelas hal tersebut di atas berakibat maraknya hastag #Ganti Presiden 2019, yang dimotori aktivis pro Demokrasi dan petinggi PKS yang ditanggapi positif oleh publik. Tentunya menguntungkan kandidat Presiden yang lain, yakni Prabowo Subianto (PS), karena sampai saat ini belum ada kandidat lainnya.(kl/konfrontasi)