Pilkada 2018: Peringatan Dini Untuk Prabowo

Jika melihat hasil Pilkada Serentak 2018, posisi sementara Joko Widodo mengungguli PS sebagai petahana. Sekali lagi PS perlu bekerja keras untuk memenangkan Pilpres 2019. Walau kita memahami dalam Pilpres, faktor personal (integritas, kapasitas, dan kapabilitas) lebih dominan menentukan selain faktor parpol pengusung, logistik, dan kecanggihan dalam pengamanan Pemilu menjadi faktor utama yang menjadi perhatian pada elektabilitas Joko Widodo versus PS para Pilpres 2019.

Namun sebagai petahana tetap kinerja menjadi basis utama pertimbangan faktor pemilih dalam Pilpres 2019. Hal ini mengenai integritas, kapasitas, dan kapabilitas petahana. Secara kekuatan, Joko Widodo lebih unggul dalam dukungan jika berbasis pada hasil Pilkada Serentak 2018. Namun dalam waktu hanya relatif 9 bulan lagi Pilpres, perlu memperbaiki kinerja pemerintahannya, karena dinilai relatif gagal, dan dukungan parpol tidak paralel untuk hasil Pilpres. Konsentrasi parpol terbagi dengan Pileg, karena mesin utama penggeraknya adalah anggota legislatifnya, bukan organisasinya.

Integritas Joko Widodo pasti dikaitkan dengan integritas kabinet dan pemerintahannya. Dengan banyaknya Kepala Daerah dan anggota Legislatif yang terlibat korupsi, berarti Joko Widodo gagal memberantas korupsi. Bahkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sebagai lembaga utama dalam pemberantasan korupsi, di era Joko Widodo mengalami degradasi dari segi kualitas kerja. Walau berhasil mengungkap mega korupsi KTP-elektronil (Setya Novanto, dkk.), tapi berkurang jauh nilainya karena tidak berhasil menarik Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah terpilih), dan beberapa nama elit PDIP. Di era Joko Widodo juga 2 kali KPK diancam dibubarkan, bahkan DPR sudah membuat pansus (panitia khusus) untuk menjadi alat tekan KPK. Selain itu juga terjadi peristiwa penyiraman air keras kepada Novel Baswedan yang juga sepupu Anies Baswedan hingga cacat sampai saat ini. Tidak kurang Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Wakapolri Komjen Pol Syafruddin minta kasus ini diusut tuntas, tapi tetap mengambang sampai saat ini. Kita tahu bahwa Komjen Pol. Mochammad Iriawan saat itu sebagai Kapolda Metro Jaya, yang bertanggungjawab terhadap pengusutan kala itu. Hal ini menjadi sorotan negatif publik ketika dia dipilih sebagai Pj. Gubernur Jawa Barat, karena sikapnya yang tidak netral.

Hal ini mengurangi “nilai” KPK sebagai penegakan hukum di bidang korupsi. Tak kurang hal fenomenal adalah penetapan status TSK (tersangka) untuk Jenderal Pol (Purn) Budi Gunawan (BG) yang kala itu direkomendasikan DPR sebagai Kapolri. Akibatnya, statusnya diambangkan oleh Joko Widodo, dan justru menetapkan Tito Karnavian sebagai Kapolri. BG dengan segala cara, termasuk didukung oleh elit PDIP, yakni dengan mempra-peradilankan kasusnya ke pengadilan, dan menang. Keputusan kontroversial ini juga mencoreng nama KPK dan Joko Widodo sendiri.

Selanjutnya Joko Widodo terpaksa mengangkat BG sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Konon penyidik yang hampir semuanya dari POLRI tetap berinduk ke Mabes POLRI setelah Novel Baswedan “ditaklukkan”.

Pendegradasian KPK mau tidak mau menyangkut integritas Joko Widodo sebagai orang No.1 di Indonesia yang tidak berdaya menghadapi kartel parpol dalam korupsi berbasis politik (APBN).