Tak terelakkan lagi, disparitas itu menggiring kita untuk melihat “siapa” yang menguasa “apa” dan “berapa”. Ketika melihat kondisi ini berulang-ulang, kesimpulan yang paling kuat ialah bahwa kaum “pribumi” masih mendominasi penerimaan residu pembangunan. Lebih lugas lagi, warga “pribumi” adalah tempat pembuangan sampah pembangunan.
Dengan meminjam kacamata kepemimpinan nasional dalam pidato politik kegubernuran, Anies mencoba untuk memperlihatkan persepsi bahwa kondisi suram kaum “pribumi” harus segera dikoreksi. Semangat untuk melakukan koreksi itulah yang tampaknya mendorong Anies untuk meletakkan terminologi “pribumi” sebagai ruh pidatonya.
Sayang sekali, “small mind” menganggap Anies ingin memecah belah bangsa. Mereka kesulitan untuk memahami “great mind” Pak Gubernur yang terasa lebih cocok diimbali dengan kursi presiden. Orang-orang “small mind” kemudian terjebak ke dalam “talking about people” alias “mencak-mencak mencari kesalahan orang”.
Anies mengajak bicara soal gagasan untuk mengoreksi kondisi sosial yang buruk, sementara “orang seberang” hanya paham satu bahasa saja yaitu bahasa “gebuk” dalam kamus premisme mereka. Suasana menjadi “tak nyambung”.
Mereka lebih suka membawa Anies berperkara di kantor polisi ketimbang berusaha mencari pemahaman yang komprehensif tentang potensi ancaman akibat kondisi buruk kaum “pribumi” yang tidak dikoreski.
Benar juga kseimpulan President Franklyn Roosevelt, bahwa “Great minds talks ideas, average minds talk events, small minds talk about people” (kl/ts)