by M Rizal Fadillah
Megawati menyebut bahwa kader PDIP yang memiliki jabatan di pemerintahan adalah petugas Partai. Jokowi sebagai Presiden yang diusung dua periode disebut pula secara berulang sebagai petugas Partai. Saat Megawati mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai Capres PDIP untuk Pilpres 2024 maka secara tegas Ganjar dinyatakan sebagai kader dan petugas Partai.
Ternyata sebutan khas PDIP ini terdapat dalam AD PDIP Bagian Keempat “Tugas Partai” Pasal 10 butir f yang berbunyi “mempersiapkan kader Partai sebagai petugas Partai dalam jabatan politik dan jabatan publik”. Untuk penugasan menjalankan visi Partai sebagaimana Pasal 6 AD ayat (1) PDIP “alat perjuangan guna membentuk dan membangun karakter bangsa berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945”.
Menurut KBBI “petugas” adalah orang yang bertugas melakukan sesuatu. “tugas” itu (1) yang wajib dikerjakan (2) suruhan untuk melakukan sesuatu. Petugas Partai tentu menjadi orang yang wajib melakukan sesuatu atau menjalankan apa yang disuruh oleh Partai. Petugas Partai mutlak harus menjalankan visi dan misi Partai.
Seseorang yang menjadi petugas Partai saat menjadi pejabat politik atau pejabat publik tetap diamanatkan untuk menjalankan apa yang menjadi tugas Partai. Hal ini sebagai konsekuensi dari loyalitas kepada Partai dimanapun dan kapanpun. Meskipun ia telah menjadi pejabat publik, termasuk sebagai Presiden. Partai adalah utama. Tugas Partai mutlak harus dijalankan oleh seorang petugas Partai.
Dengan pola seperti ini petugas Partai yang menjadi Presiden rentan kehilangan karakter kenegarawanannya. Tuntutan loyalitas kepada Partai menjadi utama.
Meskipun ia secara normatif harus mendahulukan kepentingan rakyat namun perintah dan misi Partai itu dominan bahkan harus didahulukan. Presiden menjadi tidak independen.
Status sebagai petugas Partai akan bertentangan dengan esensi demokrasi dimana Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Rakyat yang berdaulat. Rakyat yang semestinya mengontrol dan mengendalikan Presiden. Presiden adalah petugas Rakyat. Disinilah tepatnya ucapan John F Kennedy “my loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins”.
Hanya dalam Sistem Partai Tunggal (One Party System) suara Partai adalah suara Rakyat. Karenanya jika seorang Presiden itu menjadi petugas Partai maka hal Ini akan menjadi karakter dari perwujudan dari Sistem Partai Tunggal yang sekaligus menjadi jalan atau arah menuju negara totaliter.
Negara yang rakyatnya berfikir sehat tentu tidak ingin memiliki Presiden yang kelak setelah dipilih oleh rakyat lalu bekerja di Istana bukan sebagai petugas Rakyat tetapi petugas Partai.
Dalam kaitan dengan PDIP nampaknya perlu evaluasi serius terutama pada tugas Partai yang mau tidak mau harus diemban oleh petugas Partai sebagaimana amanat Pasal 10 butir g AD PDIP yang berbunyi :
“mempengaruhi dan mengawasi jalannya penyelenggaraan negara agar senantiasa berdasarkan ideologi Pancasila 1 Juni 1945 dan UUD 1945 serta jalan Trisakti sebagai pedoman strategis dan tujuan kebijakan politik Partai demi terwujudnya pemerintahan yang kuat, efektif, bersih dan berwibawa”.
Petugas Partai yang menjadi pejabat publik termasuk Presiden tentu harus menjalankan roda pemerintahan berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945. Bukan Pancasila 18 Agustus 1945. Jika perjuangannya “mempengaruhi” dan “mengontrol” dengan Pancasila 1 Juni 1945, maka masuk kategori makar atau subversi kah hal ini ?
Bahwa PDIP sekedar menjalankan “politik identitas” yang justru diharamkan di rezim ini sudahlah pasti dan sangat jelas.
Rezim Jokowi ini memang lucu, pandai berteriak untuk melarang apa-apa yang dikerjakannya sendiri.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 26 April 2023