by M Rizal Fadillah
Gerakan Deklarasi atau Petisi yang dilakukan berbagai kampus di Indonesia saat ini adalah kejutan politik menjelang Pemilu. Meski bersifat seruan moral dari guru besar, dosen dan alumni perguruan tinggi seluruh Indonesia, akan tetapi mengingat yang diseru adalah perilaku politik Presiden, maka hal ini nyatanya menjadi sebuah peristiwa politik.
Deklarasi atau Petisi berbagai kampus tersebut berisi pengkritisan terhadap perilaku para pejabat publik khususnya Presiden Jokowi yang dinilai telah merusak dan menginjak-injak demokrasi. Secara etis para akademisi itu meminta agar Jokowi kembali menjalankan pemerintahan sesuai dengan kewenangan yang diamanatkan kepadanya. Kembali ke jalan atau rel semestinya.
Tiga hal menonjol yang menjadi sorotan dari gerakan para akademisi tersebut adalah ketidaknetralan dalam Pilpres 2024, mobilisasi aparat termasuk ASN, serta politik dinasti yang diawali dengan adanya Putusan MK. Ketiganya menandai akhir buruk penyelenggaraan negara di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi.
Munculnya gerakan kampus dan akademisi ini mendapat respons dari banyak pihak, termasuk Wapres KH Ma’ruf Amin. Wapres meminta agar dinamika politik ini mendapat perhatian dari pemerintah. Komentar Wapres tentu menarik mengingat yang bersangkutan sesungguhnya menjadi bagian dari penyelenggara negara yang juga ikut bertanggungjawab.
Hanya fakta di lapangan selama ini Jokowi memang tidak memainkan pola “dwi tunggal” bersama Wapres. Jokowi berjalan sendiri dalam berbagai pengambilan kebijakan politik. Terkesan ia memandang sebelah mata kepada fungsi dan urgensi KH Ma’ruf Amin sebagai Wapres.
Pantas jika Wapres turut berkomentar mengingatkan pemerintah atas sikap kritis masyarakat kampus. Ia mengkhawatirkan adanya langkah lanjutan dari gerakan akademisi tersebut.
Petisi Kampus sesungguhnya sejalan dengan gerakan terdahulu Petisi Seratus. Petisi 100 bermisi mengingatkan pemerintah Jokowi agar segera melakukan pemulihan kedaulatan rakyat . Rezimnya telah melakukan penyimpangan dengan membajak kedaulatan bersendi konstitusi tersebut. Segelintir orang berkuasa yang bernama oligarki telah merampok dan menginjak-injak demokrasi.
Petisi 100 skeptis akan kemauan politik Jokowi untuk melakukan pemulihan kedaulatan rakyat. Karakter kepemimpinannya yang “ndableg” atau buta tuli membuat seruan-seruan moral “masuk telinga kanan keluar telinga kiri”. Karenanya jalan terbaik bagi Jokowi adalah mundur atau dimundurkan. Ini strategis dan realistis. Demi upaya bangsa untuk kembali kepada kehidupan politik yang lebih demokratis.
Ketika Jokowi meningkatkan kualifikasi penyimpangan demokrasi dari oligarki menjadi politik dinasti maka persoalan politik meningkat menjadi masalah hukum, Jokowi telah melanggar undang-undang yang melarang nepotisme. Sanksi penjara maksimum 12 tahun. Petisi 100 telah melaporkan ke Mabes Polri.
Langkah lanjut dari Petisi Kampus yang dikhawatirkan Wapres KH Ma’ruf Amin dapat saja berupa aksi, yakni gerakan masif unjuk rasa mahasiswa untuk mengimplementasikan seruan guru besar, dosen dan alumni dari kampusnya tersebut. Dinamika politik semakin berekalasi.
Wajah buram Jokowi yang nekad membangun politik dinasti menghadapi perlawanan serius dari akademisi melalui berbagai petisi. Perlawanan yang dimulai dari deklarasi atau petisi sebagai seruan moral akan berlanjut pada aksi-aksi.
Jokowi ujungnya terpaksa mengundurkan diri atau diadili.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 6 Februari 2024