Pertarungan Kejagung Versus KPK?

Sebenarnya sudah merembet ke petinggi PDIP yang lain. Hanya saja dengan hilangnya Harun Masiku, membuat terhenti rembetan tersebut.

Misteri besar dari muncul dari kasus ini Harun Masiku tersebut.

Istana menyerang terus PDIP melalui kasus bantuan Sosial (Bansos) yang membawa penangkapan dan proses hukum Mensos Juliari  Peter Batubara, kader PDIP.

Selain Juliari Batubara, sejumlah kader dan petinggi PDIP yang lain kemungkinan besar bakalan terseret kasus korupsi Bansos tersebut.

Melalui kesaksian dalam pemeriksaan kasus korupsi Bansos disebut, keterlibatan lingkungan Istana “Anak Pak Lurah” lalu sodokan lagi menuju “Madam” dari PDIP.

Proses hukum masih berjalan, hanya belum terkuak rinci sampai kepada “Anak Pak Lurah” maupun “Madam”. Publik menduga bargaining politik bisa saja terjadi.

Konsekuensi jika penegakan hukum berada di bawah bayang-bayang politik.

Jika akur, tentu Kejaksaan dalam proses pengusutan Jiwasraya, Asabri, maupun BPJS Ketenagakerjaan semestinya melibatkan KPK. Namun dalam prakteknya, Kejaksaan berjalan sendiri.

Karenanya wajar timbul kecurigaan tersebut. Dalam kasus mega korupsi ketiga institusi di atas, mudah dipastikan akan keterlibatan kekuasaan. Tetapi dalam menarik keterlibatan lingkungan istana sangat minim.

Disini terkesan ada “tarik ulur” dan “tekan menekan”.

Bangsa dan rakyat Indonesia berharap KPK dan Kejaksaan bisa melepaskan kepentingan politik yang mendasari kerja keduanya.

Bahkan satu dengan lain seharusnya dapat bekerjasama. Jika berlomba pun dalam rangka berprestasi untuk membongkar dan memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya.

Bukan menjadi alat untuk “bargaining politik”.

Rakyat bertanya-tanya, sampai kapan Kejagung akan bertarung dengan KPK? Sebab justru yang dirugikan adalah rakyat.

Uangnya telah dirampok habis oleh para penjahat besar dari kalangan penguasa dan penguasa. Koruptor, terminator, dan predator. Pepatah menyatakan gajah bertarung dengan gajah, pelanduk mati ditengahnya. (FNN)