*Kedua*, Pertamina harus membeli minyak mentah (crude) domestik dengan harga Indonesia Crude Price (ICP) lebih mahal sekitar US$ 8 per barel (Banyu Urip) dan US$ 11 per barel (Duri) dibanding ICP crude jenis lain. Hal ini terlihat pada Kepmen ESDM No.79.K/2020 tanggal 1 April 2020. Kepmen ini berlaku untuk ICP Maret 2020. Untuk bulan-bulan lain, antara Januari-Juni 2020, diperkirakan “anomali” perbedaan harga masih sama.
Rerata produksi lapangan Banyu Urip sekitar 210.000 barel per hari (bph), sedang lapangan Duri sekitar 170.000 bph. Jika seluruh produksi minyak kedua lapangan dibeli Pertamina, maka nilai “kemahalan” yang harus dibayar Pertamina (asumsi US$/Rp=14.500, 1 semester = 180 hari) adalah: untuk Banyu Urip (US$8/barel x 210.000 barel/hari x 180 hari) = US$ 302,4 juta, untuk Duri (US$ 11/barel x 170.000 barel/hari x 180 hari) = 336,6 juta. Sehingga nilai “keabnormalan” harga yang harus dibayar Pertamina US$ (302,4 + 336,6) juta = U$ 639 juta atau sekitar Rp 9,25 triliun.
Nilai kemahalan atau kerugian Pertamina di atas dihitung atas dasar 100% produksi Banyu Urip dan Duri dibeli oleh Pertamina. Jika diasumsikan biaya cost recovery ditambah nilai bagi hasil (split) rata-rata kontraktor adalah 35% total produksi, maka 35% dari nilai kemahalan tersebut (Rp 3,24 triliun) malah dinikmati oleh asing Chevron (Duri) dan Exxon (Banyu Urip)
*Ketiga*, Pertamina harus menanggung beban pencitraan politik dalam rangka Pilpres 2019, sehingga harus terlebih dahulu menanggung beban biaya subsidi BBM dan LPG sejak April 2017. Menurut Dirkeu Pertamina Emma Sri Martini pada RDPU Komisi VII DPR, akumulasi tanggungan Pertamina tersebut adalah Rp 96,5 triliun kompensasi dan Rp 13 triliun subsidi. Sehingga total beban kebijakan populis tersebut adalah Rp 109,5 triliun. Utang pemerintah ini memang kelak akan dibayar, tapi jadwalnya tak jelas, terutama karena besarnya defisit APBN akibat korona. Jika tak segera dilunasi, Pertamina justru terancam gagal bayar atau default.
Karena utang pemerintah Rp 109,5 triliun tak dilunasi, Pertamina harus menerbitkan surat utang. Beban surat utang Pertamina sejak 2011 mencapai US$ 12,5 miliar. Khusus untuk 2018-2020, akibat menanggung akumulasi utang pemerintah Rp 109,5 triliun di atas, Pertamina setiap tahun harus menerbitkan bond US$ 750 juta (2018), US$ 1,5 miliar (2019) dan US 3 miliar (2020), pada tingkat bunga (kupon) yang berbeda-beda antara 3,65% hingga 6,5%.
Total tambahan surat utang Pertamina 2018 hingga 2020 adalah US$ 5,25 miliar. Artinya, dihitung sejak penerbitan surat utang 2018 dan tingkat kupon masing-masing, maka beban bunga (cost of money) yang ditanggung Pertamina akibat kebijakan populis Pilpres 2019 yang menjadikan Pertamina sapi perah adalah sekitar US$ 210 juta atau sekitar *Rp 3 triliun*.