“Perselingkuhan” itu Bikin Sunyi Gedung “Wakil Rakyat”

Bahkan dalam beberapa kasus DPR yang diharapkan menjalankan fungsi kontrolnya justru malah menjadi juru bicara eksekutif sehingga mengaburkan peran dan fungsinya sebagai wakil rakyat yang telah memilihnya.

Terjadinya “ perselingkuhan “ ini tentu saja membuat DPR menjadi enggan untuk bersuara karena merasa bertanggungjawab untuk ikut mengamankan kebijakan kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah yang berkuasa.

Ketiga, menjadi wakil partai bukan wakil rakyat. Meskipun sejatinya DPR itu adalah wakil rakyat namun dalam prakteknya harus diakui peran partai sangat dominan sehingga ruang gerak anggota DPR mengalami  pembatasan pembatasan sehingga tidak bisa sepenuhnya menjalankan peran dan fungsinya.

Seperti  yang pernah disinggung oleh Fahri Hamzah, anggota DPR itu dikendalikan oleh ketua umum partai politik masing-masing. Ketua umum partai politik (parpol) itu terlibat di dalam satu mekanisme oligarki untuk mengatur kekuasaan legislatif dari belakang layar.”Sinisme rakyat kepada DPR itu tidak bisa dihindari karena setelah dipilih anggota DPR itu tidak bisa dikendalikan oleh rakyat dan konstituennya,” kata mantan wakil ketua DPR RI periode 2014-2019 ini seperti dikutip media 07/10/20.

Karena itu, Fahri mengatakan apa yang disebut sebagai telepon Pak Ketum, Bu Ketum, Pak Sekjen, Bu Sekjen dan sebagainya adalah hal lumrah saja. ”Anggota DPR kita tidak independen, mereka bukan wakil rakyat, mereka adalah wakil parpol. Dan karena itu kadang-kadang saya anggap mereka juga adalah korban dari sistem yang mereka sendiri tidak mampu untuk mengubahnya,” ungkapnya.

Kondisi tersebut tentu saja telah membuat anggota DPR gagap dalam menyuarakan aspirasinya karena merasa diawasi setiap gerak geriknya  termasuk suaranya oleh partai pengusungnya. Maka jangan heran kalau ada anggota DPR yang awalnya mungkin vokal kemudian mundur teratur karena adanya batasan batasan yang ada diluar kekuatannya.

Itulah tiga hal yang sekurang kurangnya menjadi penyebab mengapa saat ini gedung DPR semakin sunyi tanpa suara. Ada sayup sayup suara perorangan anggota DPR tapi hampir pasti suara mereka tidak banyak berpengaruh terhadap perubahan konstelasi politik yang ada.

Siklus 20 Tahunan ?

Kondisi saat ini dimana suara masyarakat sipil melalui DPR menjadi tidak berdaya mengingatkan kita pada era 20 tahun yang lalu ketika Orba berkuasa. Saat itu wakil rakyat benar benar dibungkam sehingga menjadi tidak berdaya dan karenanya hanya menjadi lembaga stempel saja. Sebutan yang paling terkenal saat itu untuk wakil rakyat adalah 4 D (datang, duduk, diam dan duwit).

Kini era 4D itu sepertinya mulai melanda wakil rakyat yang duduk di Senayan di tengah badai virus corona. Mereka yang sempat menjadi wakil rakyat yang cukup galak kini sudah menjadi anak manis yang patuh pada apa maunya penguasa.

Kalau kita telusuri kebelakang berdasarkan catatan sejarah,kekuatan masyarakat sipil ini memang begerak penuh dinamika membentuk siklus 20 tahunan dimana kekuatan masyarakat sipil awalnya menguat tapi kemudian perlahan lahan meredup kembali ke siklus awalnya.

Awalnya dulu di jaman Belanda ada gerakan Kebangkitan Nasional ditandai dengan  berdirinya Organisasi Boedi Oetomo Pada 20 Mei 1908.  Boedi Oetomo didirikan oleh sejumlah mahasiswa School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA).

Boedi Oetomo bertujuan untuk memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri, ilmu pengetahuan dan seni budaya bangsa Indonesia, hingga bidang politik yang kemudian menjadi cikal bakal Indonesia merdeka. Dua puluh tahun kemudian tepatnya tanggal 28 Oktober 1928  lahir Sumpah Pemuda.

Sumpah Pemuda adalah suatu ikrar pemuda-pemudi Indonesia yang mengaku bertumpah darah satu, tanah Indonesia, mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Pasca Sumpah pemuda kemudian dirintis jalan untuk Indonesia merdeka. Oleh karena itu hampir dua puluh tahun kemudian para pendiri bangsa memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tepatnya tanggal 17 Agustus 1945.

Dua puluh tahun pasca dibacakannya proklamasi kemerdekaan Indonesia, meletus peristiwa G 30 S/PKI yang kemudian menandai lahirnya pemerintahan baru dibawah Presiden Soeharto untuk menggantikan Soekarno penguasa Orde Lama.

Setelah berkuasa cukup lama akhirnya Orba tumbang juga pada 1998 sehingga lahir pemerintahan era reformasi yang menempatkan masyarakat sipil sebagai penguasa di Parleman menggantikan kedikatoran Orba.