“Perselingkuhan” itu Bikin Sunyi Gedung “Wakil Rakyat”

Hal senada disampaikan oleh peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Made Leo Wiratma. Made melihat DPR sebagai lembaga tinggi negara dengan fungsi utama sebagai representasi rakyat juga nyaris tak berpengaruh dalam menentukan arah kehidupan berbangsa. “Semua kendali utama kebijakan untuk memastikan keselamatan warga negara di hadapan pandemi ada pada pemerintah yang sedang berkuasa”,kata nya seperti dikutp sindonews.com (2/10/2020).

Secara kelembagaan, kondisi DPR yang gagap bersuara tersebut sekurang kurangnya disebabkan oleh beberapa hal antara lain :

Pertama, Konsekuensi dari Koalisi Gemuk. Partai politik yang mendukung Jokowi-Ma`ruf Amin pada waktu kontestasi politik pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres/Pilwapres) yang digelar serentak dengan pemilihan anggotata legeslatif (Pileg) pusat sampai daerah provinsi dan kabupaten/kota adalah yang terbanyak sepanjang sejarah Pilpres/Pilwapres di  Indonesia

Betapa tidak, lebih dari setengahnya partai politik lebih memilih pasangan Jokowi-Maruf Amin. Sebut saja, PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PKB, Nasdem, Perindo, PKPI, PSI dan Hanura. Sementara sisanya menyebrang ke kubu pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yakni  PKS, PAN , Demokrat dan Gerindra.

Pada akhirnya pasangan Jokowi-Ma`ruf Amin berhasil keluar sebagai pemenang dengan raihan mencapai 54,5% suara. Dengan komposisi tersebut, sudah bisa dipastikan peta kekuatan Jokowi-Ma`ruf di Parlemen pun jauh lebih unggul dibandingkan lawannya. Kekuatan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf ini bertambah lagi setelah partai Gerindra menyatakan diri untuk bergabung ke pemerintahan yang berkuasa.

Dengan bergabungnya Gerindra maka koalisi pendukung pemerintah menjadi sangat gemuk komposisinya sehingga membahayakan kehidupan demokrasi di Indonesia. Karena  dengan sendirinya kubu Oposisi menjadi semakin “kurus” dan akhirnya tidak berdaya.

Secarah konsep demokrasi apabila salah satu kubu terlalu “Gemuk” akan berpengaruh nantinya kepada proses check and balances sehingga menimbulkan kesan ” one man show” sehingga tidak ada yang mengontrolnya.

Sebab sejatinya demokrasi lahir untuk menghalau kesewenang wenangan diantara para penguasa dan kesewanang wenangan itu dapat di kontrol dengan konsep Check and Balance, namun ketika salah satu kubu terlalu “Gemuk” mungkinkah chek and balances akan berjalan sebagaimana harapan kita bersama ?.

Di Indonesia ada keengganan atau kesungkanan bagi anggota DPR untuk menjalankan fungsi pengawasannya secara ketat manakala sudah merapat ke penguasa.Pada hal seharusnya meskipun sudah berada di lingkaran kekuasaan, fungsi kontrol mestinya tetap jalan karena merupakan amanat dari perundang undangan dan demi lurusnya jalanya pemerintahan yang berkuasa.

Kedua, Terjadi “Perselingkuhan”  antara DPR dengan Pemerintahan yang sedang berkuasa. Pada waktu proses amandemen UUD 1945 tahun 1999 sampai 2002, ada semangat untuk memperkuat posisi lembaga perwakilan  (DPR) sehingga Presiden tidak menjadi dominan seperti yang terjadi pada  Presiden di era Orba.

Oleh karena itu saat amendemen UUD 1945, ada upaya untuk merancang desain baru di konstitusi kita, yang mengangkat pemegang kekuasaan legislatif terutama DPR agar bisa lebih seimbang dengan Presiden dilihat dari aspek kekuasaannya. Namun rupanya para pengubah UUD itu tidak pernah membayangkan seberapa parah nanti kalau satu titik terjadi kolaborasi antara dua lembaga yang diberi kekuasaan besar menjalankan otoritas bernegara.

Kekuatiran tersebut telah terbukti adanya saat ini dengan adanya “kolaborasi” antara DPR dan Pemerintahan dalam menjalankan roda pemerintahan di Indonesia. Pada hal awalnya dengan desain konstitusi yang menyeimbangkan kekuatan eksekutif dan legislatif itu dimaksudkan untuk berjalannya prinsip checks and balances dalam kehidupan bernegara. Tapi dalam perjalanan kemudian, dua kekuatan itu berkolaborasi dengan terbentuknya koalisi besar sehingga mengancam hilangnya fungsi chek and balances yang seharusnya dijalankannya.

Dalam kaitan ini rupanya partai politik tak bisa menaan  menahan diri untuk tidak semuanya bergabung ke pemerintah yang berkuasa. Dalam hal ini kita memang memerlukan pemerintahan yang kuat tapi kuat dalam pengertian di sini, tidak menguasai segala-galanya. Artinya, ada kekuatan yang cukup di DPR untuk bisa mengimbangi posisi pemerintah yang berkuasa.

Dengan merapatnya kekuatan partai politik di DPR untuk mendukung Pemerintah maka potensi untuk terjadinya praktek “perselingkuhan” sangat terbuka. Hal ini ternyata sudah terbukti paling tidak bisa dilihat pada proses pelaksanaan fungsi legislasi di DPR yaitu pembuatan Undang Undang yang nyaris tidak ada “perlawanan” dalam proses pembahasan dan pengesahannya.