“Perselingkuhan” itu Bikin Sunyi Gedung “Wakil Rakyat”

Beberapa Undang Undang yang nilai cacat hukum tersebut misalnya Undang Undang Mineral dan Batubara, Undang Undang refisi KPK, Undang Undang Omnibuslaw Cipta Kerja, Undang Undang HIP (Haluan Ideologi Pancasila), RUU (Perpu) Corona  dan sebagainya. Undang Undang ini telah mendapatkan penolakan luas dari masyarakat khususnya kalangan mahasiswa dan elemen bangsa lainnya.

Meskipun mendapatkan penolakan yang luas, pembahasan Undang Undang tersebut terus berlanjut sampai kemudian di sahkan ditengah kontroversi yang mengiringinya. Ketidakpuasan itu akhirnya disalurkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) meskipun hasilnya tidak sesuai harapan masyarakat pada umumnya. Karena rata rata hasil uji formil dan meteriil tersebut ditolak oleh  MK.

Masyarakat bertanya tanya kepada anggota DPR mengapa terkesan mulus mulus saja pembahasan RUU tersebut seperti tidak ada perlawanan sama sekali untuk menunjukkan opini yang berbeda. Dinamika pembahasan RUU berjalan begitu mulus tanpa kendala sehingga ada kecurigaan didalamnya.

Sebagai bahan perbandingan, dulu ketika  era presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) setiap ada kenaikan BBM selalu terjadi tarik-menarik antara presiden dan DPR dalam kompromi politik menaikan BBM. Saat itu SBY acapkali direpotkan tidak hanya oleh PDIP yang selalu konsisten menolak kenaikan BBM, tetapi dari intern koalisinya sendiri, terutama PKS yang menolak kenaikan BBM dengan segenap argumentasinya.

Sementara itu dari aspek fungsi pengawasan, banyak kejadian dan peristiwa yang seharusnya membuat DPR bersuara tetapi suara nyatanya memang tidak terlalu kedengaran gaungnya.

Beberapa kejadian yang seyogyanya  membuat DPR kencang berusara diantaranya terkait dengan masalah penambahan hutang yang luar biasa besarnya sehingga dikuatirkan akan membebani generasi berikutnya.

Penambahan hutang yang luar biasa itu telah melampaui batasan ketentuan yang ada yaitu 30 % dari PDP dimana sekarang sudah mencapai 40 % bahkan cenderung lebih meningkat lagi jumlahnya.

Bukan cuma soal hutang, ada permasalahan bangsa lain sebagai imbas kebijakan yang diambil oleh pemerintah seperti seperti membengkaknya tagihan listrik bulanan dan iuran BPJS Kesehatan yang naik, serta keluarnya peraturan tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dinilai belum tepat dan mencekik rakyat Indonesia.

Selain itu, kebijakan pemerintah lainnya yakni harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang tak kunjung diturunkan juga  ditengah pandemi virus corona. Penanganan virus corona yang terkesan dilakukan dengan tanpa perencanaan yang matang, seharusnya juga mengharuskan DPR bersuara tetapi sekali lagi nyatanya suara suara itu seperti teredam sedemikian rupa sehingga kurang kedengaran bunyinya.

Memang ada suara suara yang berasal dari beberapa anggota DPR secara individual namun suara mereka nyaris tidak mempengaruhi atmofsir pengambilan politik yang bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah secara keseluruhan sehingga menimbulkan efek positif bagi kebaikan berbangsa dan bernegara.

Selain fungsi legislasi dan pengawasan yang terkesan mandul, fungsi penganggaran (budgeting) juga dinilai tidak berjalan optimal sehingga setiap anggaran yang diajukan oleh pihak eksekutif lolos dengan mudahnya tanpa catatan berarti sebagai bahan koreksinya. Bahkan terkait dengan pembahasan dana untuk penanganan virus corona (Perpu corona) DPR dinilai “bunuh diri” karena menyerahkan segala sesuatunya kepada pihak eksekutif  dan tinggal ketok palu saja.

Mengapa Gagap Bersuara ?

Kondisi DPR saat ini yang gagap bersuara telah menempatkan lembaga ini menjadi  ajang kritikan bahkan makian dari masyarakat yang merasa tidak terwakili oleh kehadirannya. Situasinya mungkin sudah mirip dengan DPR di zaman orde baru (Orba berkuasa) dimana lembaga perwakilan hanya sekadar alat stempel penguasa.

Menurut Politisi Partai Gerindra Fadli Zon,saat ini DPR seolah telah menjadi bagian dari kekuasaan eksekutif saja.Padahal,  fraksi-fraksi di DPR semestinya tetap mampu melakukan fungsi pengawasan terhadap pemerintah yang berkuasa.”Sekarang oposisi menjadi minoritas, sehingga kamar legislatif itu tidak menjadi channel perjuangan rakyat. Ini yang saya lihat jadi lebih berat-lah di sana,” ucapnya seperti dikutip tribunews.com 22/10/20.