by M Rizal Fadillah
Telah diputus dan berkekuatan tetap “final and binding” Putusan MK No 60/PUU-XXII/2024 sebagai kejutan politik di penghujung masa jabatan Jokowi dan di hari-hari menuju pendaftaran Pilkada. Pintu demokrasi mulai dibuka. Sungguh spektakuler karena threshold 20 % yang sudah lama di masalahkan rakyat, kini bobol di ruang Pilkada. Meski belum 0 %. Bravo MK.
Ini hadiah kemerdekaan untuk proses demokrasi di daerah, khususnya Jakarta. Jakarta sedang menjadi sorotan atas ambivalensi rezim Jokowi. Katanya pindah Ibu Kota Negara tetapi Jakarta harus dipegang juga. Dasar kampret.
Melalui KIM Plus telah dideklarasikan dukungan 12 partai politik kepada Ridwan Kamil-Suswono. Anies dibungkam bahkan dibunuh hak politiknya.
Musuh Kamil-Suswono (KASUS) hanya pasangan Independen “boneka” atau kotak kosong. Kamil-Suswono di atas angin sudah menang sebagai Gubernur Wakil Gubernur DK Jakarta. Lawan beratnya Anies Baswedan sudah “masuk kotak”. Makar oligarki sepertinya berjalan mulus, lancar bebas hambatan. Jokowi tentu senang bukan kepalang. Tinggal Jawa Tengah bersiap untuk menyongsong sukses Kaesang.
Makar Allah terjadi, MK yang sepertinya lolos dari pengawalan, berhasil bermain sendiri dan memutus hukum dengan obyektif. Sorak kemenangan pasukan KIM Jakarta terhenti sesaat, demikian juga nasib Kaesang di Jawa Tengah ikut goyah. Batas usia Kaesang dengan Putusan MK No 70/PUU-XXII/2024 menjadi tidak memenuhi syarat.
Jokowi dan partai-partai politik geram atas putusan tak terduga ini. Jokowi bisa mempersiapkan Perppu, sedang partai politik bersekutu di DPR dengan merancang revisi UU pilkada yang esensinya menganulir Putusan MK 60. Skenario kolaborasinya adalah Perppu Presiden bermuatan Pilkada “anulir” MK dan langsung disetujui DPR.
Perppu tanpa negara dalam keadaan genting dan memaksa (staatsnood) melanggar konstitusi. Sebagaimana biasa hampir semua Perppu yang dikeluarkan Jokowi melanggar dan menginjak-injak konstitusi. Jika sekarang atas Putusan MK 60 Jokowi menyempurnakan pelanggarannya dengan menerbitkan Perppu, maka rakyat tidak bisa dan tidak boleh membiarkan. Rakyat wajar jika melakukan perlawanan dan pemberontakan atas rezim Jokowi.
Rakyat berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk merebut kembali Ibu Kota yang ditinggalkan Jokowi ke Kalimantan. Begitu juga Istana Negara telah dikosongkan oleh Jokowi yang punya Istana baru yang “tidak berbau kolonial”. Rakyat bergerak memerdekakan dan menduduki “Istana kolonial” Jakarta. Protes keras dan aksi besar-besaran atas penginjak-injakan konstitusi oleh Perppu oligarki pimpinan Jokowi. Rakyat marah dan berontak. Potensial menjadi api revolusi.
Jika Jokowi berfikir jernih dan menghormati perasaan rakyat, maka instruksinya adalah laksanakan Putusan MK, akan tetapi jika sudah buta dan linglung ia nekad terbitkan Perppu diktatorial. Akhirnya Perppu keluar dan rakyat pun berontak. Jakarta menjadi saksi sejarah atas peristiwa “Jakarta lautan api”.
Sejarah tragis menggores. Jokowi bersama rezimnya dipaksa turun dan harus menerima hukuman rakyat. Sejarah selalu berulang.
L’histoire se repete..!
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Jakarta, 22 Agustus 2024