Perppu Cipta Kerja: Joko Widodo telah Melakukan Tindakan Makar Subversif Kepada Konstitusi

Oleh : Eggi Sudjana*

Advokat, Ketua Umum TPUA ( Tim Pembela Ulama dan Aktuvis ) .

 

ALLOH Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنَا فِيْ كُلِّ قَرْيَةٍ اَكٰبِرَ مُجْرِمِيْهَا لِيَمْكُرُوْا فِيْهَا ۗ وَمَا يَمْكُرُوْنَ اِلَّا بِاَ نْفُسِهِمْ وَمَا يَشْعُرُوْنَ

“Dan demikianlah pada setiap negeri Kami jadikan pembesar-pembesar yang jahat agar melakukan tipu daya di negeri itu. Tapi mereka hanya menipu diri sendiri tanpa menyadarinya.”

(QS. Al-An’am 6: Ayat 123 ) .

Bahwa berdasarkan postulat dalil Quran tersebut dalam surat Al An Aam ayat 123 , Terus terang saya tidak terlalu kaget dengan keluarnya Perppu No 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja. Mengingat, di era rezim Jokowi ini terlalu banyak Perppu yang irrasional, yang dipaksakan berdalih kegentingan yang memaksa.

Saya masih ingat, ketika rezim Jokowi menerbitkan Perppu Ormas yang tujuannya digunakan hanya untuk mencabut BHP HTI. Saat itu tidak ada kegentingan, tidak ada kekosongan hukum, tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan berdasarkan UU Ormas.

Kalau tujuannya untuk mencabut BHP HTI, sudah ada rincian norma dalam UU No 17 Tahun 2013 tentang Ormas , mulai dari pemanggilan, mediasi, pemberian surat tegoran, pembekuan sementara, hingga proses permohonan pencabutan oleh Jaksa selaku wakil Negara.

Kenyataannya aturan yang lengkap itu tidak dipakai. Berdalih kegentingan yang memaksa, Perppu No 1 Tahun 2017 Tentang Ormas diterbitkan. Dengan dalih asas ‘Contrarius Actus’, akhirnya BHP HTI dicabut tanpa proses persidangan.

Sekarang, rezim Jokowi kembali mengeksploitasi nomenklatur ‘Kegentingan Yang Memaksa’ untuk melawan putusan Mahkamah Konstitusi. Padahal tegas, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja “inkonstitusional bersyarat”.

Amar Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada Pemerintah dan DPR untuk memperbaiki UU Cipta Kerja selama dua tahun, sejak diputuskan pada tanggal 25 November 2021. MK Juga menyatakan jika hal ini tidak dilakukan, maka UU Cipta Kerja menjadi inkonatitusional permanen dan 79 UU yang direvisi secara omnibus oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.

Saya tidak mau mengajari Jokowi soal apa itu kegentingan yang memaksa. Tapi saya berkepentingan untuk menyampaikan pendapat hukum kepada Mahfud MD selaku Menkopolhulam yang mengatakan Perppu Cipta Kerja MENGANULIR KEPUTUSAN MK. Saya jadi blo’on karena kesulitan untuk memahami pernyataan Mahfud MD ini.

Padahal, berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU 8/2011 Tentang MK menyebutkan bahwa putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan berlaku seketika dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan MK mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).

Lalu, bagaimana bisa ada Perppu yang melawan keputusan Mahkamah Konstitusi?

Secara formil, Perppu No 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja jelas jelas menyalahi prosedur penerbitan Perppu karena tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam pasal 22 UUD 1945 Jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.

Secara materil, terbitnya Perppu No 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja jelas-jelas merupakan tindakan subversif kepada Konstitusi karena menihilkan eksistensi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020, yang secara langsung juga melakukan subversi kepada konstitusi.

Presiden Jokowi telah secara nyata melakukan perbuatan tercela karena telah melecehkan, membangkang dan melakukan subversi kepada konstitusi. Karenanya Presiden Jokowi layak dimakzulkan.

Dalam ketentuan Pasal 7A UUD 1945, disebutkan bahwa:

_”Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, *atau perbuatan tercela* maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”_

Kalaupun tidak dimakzulkan semestinya Presiden Jokowi tahu diri punya rasa malu dan mau mengundurkan diri , akan tetapi sayang sepertinya Presiden tidak punya rasa malu lagi .