Benar bahwa ini kontestasi politik, bukan jabatan dengan pengangkatan. Tetapi semestinya seorang presiden paham akan situasi kebatinan pejabat struktural yang ada di bawah pemerintah pusat. Juga budaya ewuh pakewuh pejabat daerah di Solo yang masih kental.
Saya yakin, tanpa diperintah langsung oleh Jokowi pun, semua struktur pemerintahan daerah di Solo akan memenangkan anak Jokowi. Juga kondisi masyarakat kita yang belum matang berdemokrasi. Dalam situasi normal saja masih sarat dengan “wani piro”. Apalagi saat Covid-19 yang telah menekan ekonomi rakyat sampai ke panci dan penggorengan di dapur.
Dengan guyuran uang yang melimpah melebihi uang lawan (jika ada lawan) dipastikan siapun kontestan akan menang. Apalagi jika melawan kotak kosong. Tidak ada persaingan dalam uang cendol saat pencoblosan. Memangnya siapa yang biayai kampanye kotak kosong?
Jika Jokowi tidak memahami situasi ini artinya Jokowi tidak mengenal baik kondisi dan budaya masyarakatnya sendiri. Atau memang ini dimanfaatkan untuk membangun dinastinya. Jika mengenal betul karakter masyarakatnya tentu sebagai seorang pemimpin memberi contoh baik dalam berdemokrasi dengan mengedepankan moral dan etika, bukan syahwat membangun dinasti.
Apalagi dengan sistem threshold 20 persen, parpol-parpol menikmati previllege dengan mahar politik dari kontestan yang ingin diusung. Dengan grand coallition di pemerintahan, tentunya semua parpol pro pemerintah akan bergabung mengusung anak Jokowi. Sehingga tersisa PKS, tetapi tetap saja tidak bisa mengajukan calon lain akibat aturan threshold ini.
Apakah ini layak disebut demokrasi yang sehat? Apakah sistem kontestasi seperti ini yang kita mau? Itulah kenapa bung Rizal Ramli sangat lantang menentang aturan threshold ini. Aturan yang hanya akan membodohi rakyat dan memasung kehendak rakyat.
Dalam praktiknya, calon-calon kontestasi politik dipilih oleh para cukong konglomerat, kemudian ditawarkan kepada parpol. Jika uang kampanye yang dibutuhkan parpol deal, baru calon ditawarkan parpol kepada rakyat. Soal rating & elektabilitas bukan soal yang sulit dengan uang yang melimpah. Inilah buah dari demokrasi populism.
Saya mengusulkan jika ada calon kontestasi politik melawan kotak kosong, sebaiknya diganti saja dengan sendal jepit. Setidaknya sebelum memilih rakyat akan berpikir, mana yang lebih bermanfaat, si calon tunggal atau sandal jepit.
Kemudian saya akan bahas langkah “zugzwang” Jokowi. Dalam situasi ekonomi negara yang sudah masuk dalam krisis ini, nampak sekali pemerintah dalam posisi terjepit, langkah apapun yang diambil tidak bisa meyakinkan rakyat bahwa itu adalah sebuah harapan.
Tidak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali menambah utang dan jual aset negara. Bahkan publik melihat bahwa porsi anggaran penanganan Covid-19 ini lebih besar pada sektor ekonomi dari pada persoalan kesehatan rakyat.
Ketika Jokowi membentuk tim baru pemulihan ekonomi & penanganan Covid-19, yang ketuanya Erick Tohir Menteri BUMN, ini menunjukkan adanya pemikiran untuk melakukan langkah shortcut.
Idealnya jika itu untuk pemulihan ekonomi dikendalikan langsung oleh Menko Perekonomian. Ini seperti ada keputusasaan tidak dapat memulihkan ekonomi, sehingga pejabat yang mengurusi ekonomi mikro (BUMN) ditugasi menyelesaikan persoalan makro. Ekonomi nasional bukan hanya BUMN tapi juga menyangkut ekonominya seluruh rakyat, yaitu swasta korporasi, koperasi, UKM, nelayan, petani, dll.
Selama ini yang sering dilakukan di BUMN untuk “operasi plastik” membaguskan laporan keuangan hanya bermain di sekitar jual aset, jual saham, dimerger agar rasio hutang terhadap aset jadi kecil, main di bursa saham dll. Singkatnya hanya permainan porto folio saja. Tidak ada membangun fundamental ekonomi nasional.
Padahal sejak sebelum Covid-19, Bung Rizal Ramli yang sangat paham permainan-permainan di BUMN sudah mengingatkan bahwa badai krisis ekonomi akan mudah menyerang Indonesia karena tidak memiliki fundamental ekonomi yang kuat.